Kamis, 29 Mei 2014
Apa Yang Mereka Dapati di Dalam Tas?
Sabtu, 24 Mei 2014
Wasiat Nabi
WASIAT NABI صلى الله عليه و سلم
Imam Al-Bukhori meriwayatkan dari Ibnu Abbas رضي الله عنه, ia mengatakan: " Taukah kalian hari kamis, pada hari itulah sakit Rasulullah صلى الله عليه و سلم memuncak. Ketika itu Rasullallah صلى الله عليه و سلم bersabda, (( Berikan padaku secarik kertas agar kutuliskan untuk kalian sebuah wasiat yang membuat kalian tidak akan tersesat selama-lamanya)).
Maka mereka saling berdebat -seharusnya tidak layak berdebat di hadapan Nabi- mereka berkata, 'ada apa dengan beliau mengigau (ngelantur) seperti itu? Tanyakan kepada beliau apa yang beliau inginkan).' Mereka pun mendatangi Rasulullah mempertanyakan kembali hal tersebut, maka beliau berkata, 'Tjnggalkan Aku!!! Sebenarnya apa yang kujalankan adalah lebih baik dari apa yang kalian tuntut untuk kulakukan.' Maka beliau mewasiatkan mereka tiga perkara yang sangat besar,
أخرجوا المشركين من جزيرة العرب، و أجيز الوفد بنحو ما كنتم أجيزهم.
" Keluarkan orang-orang Musyrik dari Jazirah Arab, biarkan para utusan datang sebagaimana aku membolehkan mereka dagang!"
Kemudian beliau diam terhadap yang ketiga, atau (kalau tidak salah) Ibnu Abbas رضي الله عنه berkata, 'Atau aku lupa'. [1]
Menurut anggapan orang-orang dungu dari para ahul bid'ah baik dari golongan Syi'ah dan lain-lain, bawa wasiat yang akan dituliskan Rasulullah adalah apa-apa yang mereka tetapkan dalam doktrin golongan mereka masing-masing (seperti Ali yang menjadi kholifah sesudah Nabi wafat, dalam klaim Rofidhoh). Inilah bentuk berpegang teguh yang sebenarnya dengan mutasyabih (samar). Adapun Ahlu sunnah wal jama'ah maka mereka akal selalu berpegang teguh dengan perkara yang muhkam. Dan seharusnya yang mustasyabih dipahami dengan dengan yang muhkam. Inilah metode alim ulama' yang dalam ilmu pengetahuannya (الراسخون في العلم) sebagaimana Allah تعالى memsifati mereka dalam firmanNya,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dan Dialah yang menurunkan Al-Qur'an kepadamu (Muhammad). Dianraranya ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas), itulah pokok-pokok Al-Qur'an dan yang lainnya Mutasyabihat (samar). Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti yang samar untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui talwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan, :" Kami beriman kepadanya (Al-Qur'an), semuanya dari sisi Tuhan kami." Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal."
[Surat Aal-E-Imran : 7]
Bersandar dengan perkara yang mutasyabih banyak membuat orang-orang yang mengikuti kesesatan tergelincir. Adapun Ahlu Sunnah tidak memiliki madzhab kecuali mengikuti haq dan akan setia berjalan diatasnya.
Mengenai apa yang ingin dituliskan (didektekan-red) Rasulullah صلى الله عليه وسلم sesungguhnya telah mengungkapkan secara gamblang dalam riwatat-riwayat yang sohih. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata: telah berkata kepada kami Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah رضي الله عنها وأرضاها، " Ketika penyakit Rasulullah semakin parah dimana beliau wafat, beliau berkata ' Panggilkan segera Abu Bakr dan anak-anaknya agar tidak ada lagi yang berhasrat ingin mengambil posoisi Abu Bakr dan tidak ada lagi yang berandai-andai untuk mendapatkannya,' kemudian beliau bersabda: ' Sesungguhnya Allah dan kaum muslimin enggan (kecuali Abu Bakr).' Dan beliau mengulangi perkataannya dua kali. Aisyah berkata, 'Allah dan kaum muslimin enggan menerima ( kecuali bapakku, maka benar bapakku yang terpilih)'." [2]
Imam Bukhori meriwayatkan dari Aisyah, dia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah mengatakan, "Aku ingin menyuruh Orang agar menjemput Abu Bakr dan putranya, lalu aku tetapkan yang memimpin (setelahku) hingga tidak adalagi yang mengatakan bahwa dirinya lebih behak atau ada yang masih berleinginan mendapatkannya." Kemudian Rasulullah bersabda, "Allah enggan ataupun kaum muslimin menolak, atau Allah akan menolak dan kaum muslimin akan enggan (kecuali Abu Bakar). [3]
Dalam sohih bukhori dan muslim, dari hadits Ibrohim bin Sa'ad dari Ayahnya, dari Muhammad bin Jubair dari Muth'im, dari ayahnya, dia berkata, "Pernah seorang perempuan datang kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم maka beliau menyuruhnya agar kembali dilain waktu. Kemudian perempuan itu bertanya, ' Bagaimana kalau aku dagang, namun aku tidak mendapatimu?' -maksudnya beliau wafat-, maka Rasulullah menjawab, ' Jika engkau tidak menjumpai aku lagi, maka danglah kepada Abu Bakar'. [4]
Secara zahir -wallahu a'lam- bahwa kedatangan wanita tersebut tepatnya ketika Rasulullah sakit keras dimana kemudian beliau wafat.
(Lihat Tartib Wa Tahdzib Kitab Al-Bidayah Wan Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Dar Al-Wathan, Riyadh KSA cetakan ke-1 dalam bab Perintah Rasulullah kepada Abu Bakar untuk mengimami sholat 'Subhat dan Bantahannya']
Wallahu a'lam
_____________
[1] Shahih Bukhori, kitab al-Maghazi, bab Maradh Rasulilla wa wafatuhu, 8/132 (fathul bari).
[2] Yang tercetak dalam kurung tidak terdapat dala kigab aslinya, 5/28 dikutip dari Musnad Ahmad, 6/106 dan diriwayatkan juga lewat jalur lain, 6/47.
[3] Shohih Bukhori, Kitab al-Ahkam, bab al-istikhlaf 13/305 (fathul bari) dan dalam shohoh Muslim dari hadits az-Zuhri dari urwah dari Aisyah seperti itu maknanya no. 2387.
[4] Shohih al-Bukhori, kitab al-fadho'il, fadhluhu Abi Bakr 7/7 (fathul bari) dan shohih Muslim, kitab al-Fadho'il, no 2386.
Sabtu, 17 Mei 2014
Bapak Yahudi
BAPAK SYIAH ADALAH YAHUDI
Ensiklopedi Yahudi mengakui bahwa : BAPAK SY'IAH adalah seorang YAHUDI asal YAMAN bernama "Abdullah Ibn Saba".
Semoga Allah menghukumnya berikut para pengikut Syi'ah yang hidup di antara kita hari ini.
Aamiin.
Sumber: http://www.jewishencyclopedia.com/articles/189-abdallah-ibn-saba
Syria care - Indonesia : https://www.facebook.com/photo.php?fbid=405755312865856&set=a.337257156382339.78813.336789156429139&type=1
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=4933913108134&set=a.1653325175486.2085068.1307751853&type=1
Lihat : Daftar Tokoh Yahudi Asia
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_tokoh_Yahudi_Asia
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10201615316287215&set=a.1653325175486.2085068.1307751853&type=1&ref=nf
Penghuni Syurga
10 Sahabat Rosulullah yang Dijamin Surga
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiallahu’anhu
2. ‘Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu
3. ‘Ustman bin Affan Radhiallahu’anhu
4. ‘Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu
5. Thalhah bin Abdullah Radhiallahu’anhu
6. Zubeir bin Awwam Radhiallahu’anhu
7. ‘Abdurrahman bin ‘Auf Radhiallahu’anhu
8. Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiallahu’anhu
9. Sa’id bin Zaid Radhiallahu’anhu
10. Abu ‘Ubaidah bin Jarrah Radhiallahu’anhu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “Abu Bakar di surga, ‘Umar di surga, ‘Utsman di
surga, ‘Ali di surga, Thalhah di surga, Az Zubair di surga, Sa’d di surga, Sa’id di surga, Abdurrahman bin ‘Auf di surga, Abu Ubaidah bin Al Jarrah di surga.” (HR at Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Albani).
Sufi,..?
Sufi, Benarkah Itu Ajaran Nabi?
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi akhir zaman dan da’i yang
menyeru kepada jalan Allah dengan ilmu dan keterangan.
Amma ba’du. Saudara-saudaraku sekalian kaum muslimin -semoga Allah semakin mempererat tali
persaudaraan kita karena-Nya- perjalanan hidup kita di alam dunia merupakan sebuah proses
perjuangan untuk menggapai keridhaan-Nya. Kita hidup bukan untuk berhura-hura atau memuaskan hawa nafsu tanpa kendali agama. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah (hanya) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat:56)
Saudara-saudaraku sekalian -semoga Allah menumbuhkan kecintaan yang dalam di dalam hati
kita kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum- sebagaimana kita sadari bersama bahwa agama Islam adalah ajaran yang sempurna. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang tidak paham dan orang yang menyombongkan dirinya. Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-
Maa’idah: 3)
Saudara-saudaraku sekalian -semoga Allah mencurahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita untuk meniti jalan yang lurus dan tidak berpaling darinya- Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Barangsiapa yang menentang Rasul setelah petunjuk terang benderang baginya dan dia malah
mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambin
g di dalam kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan memasukkan dirinya ke dalam neraka jahannam. Dan sungguh jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’:
115)
Bagi kita ajaran atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari kehancuran dan mata air
yang akan mengalirkan kesejukan iman. Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnah/ajaranku dan ajaran para khalifah yang
berpetunjuk lagi lurus sesudahku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi
geraham serta jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), sebab setiap yang
diada-adakan itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah pasti sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi menilai hadits ini hasan)
Oleh karena itu sudah semestinya kita -sebagai orang yang mengaku beriman- untuk mengembalikan segala bentuk perselisihan kepada
Hakim yang paling bijaksana yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Kemudian apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (al-
Qur’an) dan rasul (as-Sunnah), hal itu pasti lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nisaa’: 59)
Mujahid dan para ulama salaf yang lainnya menafsirkan perintah kembali kepada Allah dan rasul yang terdapat dalam ayat ini dengan mengatakan yaitu kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Ini merupakan perintah dari Allah ‘azza wa jalla yang menunjukkan bahwa segala sesuatu yang
diperselisihkan orang -dalam hal pokok agama maupun cabang-cabangnya- maka perselisihan itu
harus diselesaikan dengan merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apa saja perkara yang kalian perselisihkan maka keputusannya dikembalikan kepada Allah.” (QS.
Asy-Syura: 10). Maka apa pun yang telah diputuskan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah serta didukung oleh dalil yang benar dari keduanya itulah
kebenaran, “dan tiada lagi sesudah kebenaran melainkan kesesatan.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2 hal. 250).
Di hadapan kita terdapat persoalan yang telah membuat lisan sebagian orang melontarkan tuduhan-tuduhan yang tak pantas kepada Ahlus Sunnah dan dakwahnya, bahkan saking getolnya memuja keyakinan sufi yang dianggapnya benar maka dia pun tidak segan melontarkan ucapan-ucapan aneh yang menunjukkan kerancuan aqidah yang tertancap di dalam dadanya.
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Kita berasal dari Allah. Menyembah hanya untuk Allah, Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.”
Orang tersebut -semoga
Allah menunjukinya- berkata, “Allah ada di mana-mana. Tapi bukan berarti ada di mana-mana. Seluruh dunia ini terjadi [karena] Campur tangan Allah. Karena Allah tidak tidur. Di dalam diri kita ada Tuhan, manusia sendiri yang membuat HIJAB ( batasan) kepada Allah.”
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Akan tetapi Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu dalam diri manusia. Karena sebegitu dekatnya…”
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata,
“Seluruh Imam Madzhab pada Akhirnya kembali kepada Sufi.
Kecuali Wahabi…” ?!
Baiklah, memang pahit di lidah dan panas di telinga, namun terpaksa kalimat-kalimat ini kami sebutkan di sini demi menerangkan kebenaran dan membantah kebatilan, semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk bersatu di atas kebenaran,
Allahul musta’aan.
Sebagai jalan untuk memecahkan persoalan ini maka akan saya kutip ucapan indah dari orang yang sama yang telah mengucapkan kalimat-
kalimat di atas. Orang tersebut -semoga Allah menambahkan hidayah kepada-Nya- mengatakan
dengan jujur dan tulus, “Maka sebaiknya kita tanya dulu kepada Orang yang lebih tahu daripada Kita,
Karena di atas langit masih ada langit.” Alangkah bagus ucapannya sebab bersesuaian dengan
sebuah firman Allah yang mulia (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian
tidak mengetahui suatu perkara, dengan dasar keterangan dan kitab-kitab…” (QS.An-Nahl:43-44).
Tentu saja tempat kita bertanya adalah para ulama yang mengikuti pemahaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Insya Allah ucapan dan keterangan mereka akan kami sebutkan untuk menenangkan hati dan pikiran
kita.
Sebelum lebih jauh menanggapi hal ini, dengan memohon taufik dari-Nya maka kami perlu kemukakan beberapa hal di sini agar duduk
perkaranya menjadi jelas dan tidak terjadi kesalahpahaman.
Saudaraku sekalian -semoga Allah mengokohkan kita di atas kebenaran, bukan di atas kebatilan-
ajaran Sufi yang populer dan kata orang mengajarkan penyucian jiwa, pendekatan diri kepada Allah serta membuang jauh-jauh ketergantungan hati kepada dunia serta mengikatkan hati manusia hanya kepada Allah, kita
telah akrab dengan istilah ini.
Meskipun demikian, sebagai muslim yang baik tentunya kita tidak akan
berbicara dan bersikap kecuali dengan landasan dalil dari Allah ta’ala. Allah berfirman (yang
artinya), “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang
kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
itu semua pasti dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Israa’: 36)
Saudaraku sekalian, sesungguhnya perkara penyucian jiwa, melembutkan hati dan pendekatan
diri kepada Allah serta melepaskan ketergantungan hati kepada dunia dan mengikatkan hati manusia
kepada Rabbnya merupakan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa kita ragukan
barang sedikit pun. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah mengaruniakan
nikmat bagi orang-orang yang beriman ketika mengutus rasul dari kalangan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Al-Kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah) padahal sebelumnya mereka dulu berada di dalam
kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran: 164). Maka tugas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
membacakan dan menerangkan ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa manusia dari berbagai kotoran
dosa dan kesyirikan, dan mengajarkan Al-Kitab dan
As-Sunnah kepada mereka.
Oleh karena, itulah apabila kita membuka kitab-kitab hadits akan kita jumpai di sana sebuah bab
khusus yang menyebutkan riwayat-riwayat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mengajarkan penyucian jiwa dan melembutkan hati.
Contohnya di dalam Sahih Bukhari, Al-Bukhari rahimahullah menulis Kitab Ar-Riqaaq (hal-hal yang dapat melembutkan hati), di sana beliau
membawakan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkait dengan hal ini sebanyak
seratus hadits lebih, yaitu hadits no. 6412-6593 (lihat Sahih Bukhari cet. Maktabah Al-Iman, halaman. 1306-1332).
Demikian juga murid Al-Bukhari yaitu Muslim rahimahullah membuat Kitab Ar-Riqaaq, Kitab At-
Taubah, Kitab Shifatul Munafiqin wa ahkamuhum, Kitab Shifatul qiyamah wal jannah wan naar, dan
lain sebagainya hingga Kitab Az-Zuhd wa raqaa’iq yang mencantumkan dua ratus hadits lebih tentang penyucian jiwa dan hal-hal yang terkait dengannya
di dalam Sahihnya (lihat Sahih Muslim yang dicetak bersama Syarah Nawawi, hal. 5-259).
Demikian pula di antara para ulama ada yang menyusun kitab khusus tentangnya seperti Adz-Dzahabi yang menulis kitab Al-Kaba’ir tentang dosa-dosa besar.
An-Nawawi yang menulis
Riyadhush Shalihin yang mencakup berbagai pembahasan tentang penempaan diri dan penyucian jiwa. Shifatu Shafwah dan Al-Latha’if
karya Ibnul Jauzi. Bahkan banyak kitab hadits yang dinamakan dengan kitab Az-Zuhd, seperti Az-Zuhd karya Abu Hatim Ar-Razi, Az-Zuhd karya Abu Dawud, Az-Zuhd karya Imam Ahmad bin Hanbal,
dan lain-lain, semoga Allah merahmati mereka semua.
Bukankah dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian riwayat-riwayat hadits sahih serta penjelasan ulama yang ada di dalam kitab-kitab tersebut kita dapat mempelajari bagaimanakah menyucikan jiwa, bagaimana
mendekatkan diri kepada Allah dan bagaimana melepaskan ketergantungan hati kepada selain-
Nya…
Inilah pelajaran-pelajaran akhlak dan penyucian jiwa yang disampaikan oleh para ulama kepada kita. Sehingga kalau yang dimaksud sufi adalah itu semua (penyucian jiwa dsb) maka akan kita
katakan bahwa itulah yang diajarkan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah alias manhaj salaf kepada
umat manusia.
Oleh sebab itu Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata mengenai salah satu sifat Ahlus Sunnah, “Mereka memerintahkan
untuk sabar ketika tertimpa musibah, bersyukur ketika lapang, serta merasa ridha dengan
ketetapan takdir yang terasa pahit.
Mereka juga menyeru kepada kemuliaan akhlak dan amal-amal
yang baik, mereka meyakini makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Orang beriman yang
paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya.’…” (Aqidah Wasithiyah, hal. 87).
Kalau ajaran menyucikan diri dan menggantungkan hati hanya kepada Allah -sebagaimana yang
diajarkan oleh Nabi dan para sahabat- disebut sufi maka saksikanlah bahwa saya adalah seorang sufi!
Namun, ketahuilah saudaraku -semoga Allah merahmatimu- kalau kita cermati lebih jauh ajaran
sufi atau tasawuf dan berbagai macam tarekat yang dinisbatkan ke dalamnya beserta tetek bengek
ajaran dan lontaran-lontaran aneh yang mereka angkat, niscaya akan teranglah bagi kita bahwa sebenarnya ajaran Sufi yang berkembang hingga hari ini -di dunia secara umum ataupun dinegeri
kita secara khusus- telah banyak menyeleweng dari rambu-rambu Al-Kitab dan As-Sunnah.
Sebagaimana pernah disinggung oleh Buya HAMKA rahimahullah di dalam pidatonya dalam acara
penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir pada tanggal 21
Januari 1958 -lima puluh tahun yang silam-, beliau mengatakan, “Daripada gambaran yang saya
kemukakan selayang pandang itu, dapatlah kita memahamkan bagaimana sangat perlunya
pembersihan aqidah daripada syirik dan bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah, yang telah menimpa
negeri kami sejak beberapa zaman, dan perlunya kepada kemerdekaan pikiran dan memperbaharui
paham tentang ajaran Islam sejati.” (Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia, penerbit Tintamas Djakarta, hal. 6-7). Inilah ucapan yang adil dan bijak dari orang besar seperti beliau.
Berikut ini akan kami kutip
penjelasan yang diberikan oleh Bapak Hartono Ahmad Jaiz -semoga Allah membalas
kebaikannya- yang telah memaparkan mengenai sejarah ajaran sufi ini di dalam bukunya ‘Tasawuf Belitan Iblis’. Beliau mengatakan: “Abdur Rahman
Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak
diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam.
Imam Syafi’i ketika memasuki kota Mesir mengatakan,
“Kami tinggalkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (aliran yang menyeleweng, aliran yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia, orang yang menyelundup ke dalam Islam, berpura- pura –menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama’ (nyanyian).
Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi. Dan assama’ yang dimaksudkan
adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun 199H. Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya,
Imam Syafi’i sering berbicara tentang mereka, di antaranya beliau mengatakan: “Seandainya
seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum zhuhur ia menjadi orang yang dungu.”
Dia (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama 40 hari, lalu akalnya (masih bisa) kembali normal selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal 371).
Sekian nukilan kami dari Tasawuf Belitan Iblis.
Pembaca sekalian, dari keterangan di atas kita mengetahui bahwa Imam Syafi’i rahimahullah
sendiri termasuk ulama yang mengecam kaum sufi dan ajaran tasawufnya yang menyimpang. Agar
tidak terlalu berpanjang-lebar, maka baiklah untuk membuktikan penyimpangan mereka akan kita akan kutip kembali pendapat dan keyakinan mereka beserta komentar atas kerancuan yang ada di
dalamnya, Allahlah pemberi petunjuk dan pertolongan kepada kita.
Pertama:
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya-berkata, “Kita berasal dari Allah. Menyembah hanya
untuk Allah, Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.”
Tanggapan:
Yang menjadi masalah di sini adalah ucapannya “(kita) Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita
bagian dari Allah.” Apakah maksud dari ucapan ini?
Apakah artinya manusia adalah bagian dari Allah sebagaimana makna yang bisa secara langsung ditangkap dari ucapannya ataukah yang lainnya? Kalau yang dimaksud adalah yang pertama, maka sangat jelas kebatilannya. Allah
bukan hamba dan hamba bukan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah, alias hamba dan bukan tuhan atau
bagian dari tuhan!
Kalau ada orang yang meyakini demikian -dirinya adalah Allah- maka dia telah kafir.
Lantas kalau yang dimaksud adalah makna yang lain, kita akan bertanya apa maknanya? Kalau pun maksud yang mereka inginkan benar, maka kita katakan bahwa ucapan-ucapan semacam ini adalah ucapan yang
tidak pada tempatnya bahkan bid’ah!
Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan demikian? Adakah para sahabat,
imam yang empat mengajarkan demikian? Bacalah kitab-kitab tafsir dan hadits… Wajarlah apabila
Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan,
“Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelumz dhuhur ia menjadi orang yang dungu.” Cobalah kaum sufi itu berguru kepada Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Aku beriman kepada Allah serta apa yang datang dari Allah sebagaimana yang diinginkan oleh Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah serta apa yang disampaikan oleh Rasulullah sebagaimana yang
diinginkan oleh Rasulullah.” (lihat Lum’at AlI’tiqad).
Apakah Allah atau Rasul-Nya mengajarkan kepada kita bahwa kita adalah bagian dari-Nya?
Kita hidup dan mati di dalam diri-Nya?
Allah Maha suci dari ucapan mereka.
Kedua:
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya-berkata, “Allah ada di mana-mana. Tapi bukan berarti ada di mana-mana. Seluruh dunia ini terjadi [karena] Campur tangan Allah. Karena Allah tidak tidur. Di dalam diri kita ada Tuhan, manusia sendiri yang membuat HIJAB ( batasan) kepada Allah.”
Tanggapan:
Aneh bin ajaib!
Menurutnya Allah di mana-mana
tapi tidak ada di mana-mana. Di dalam diri kita - katanya- ada Tuhan… [?]
Maha suci Allah… Ucapan
semacam inilah yang membuat orang semakin bertambah dungu -sebagaimana disinggung oleh
Imam Syafi’i di atas-, adakah orang berakal yang mengucapkan perkataan seperti ini, “Allah ada di
mana-mana tapi tidak ada di mana-mana” Allahu akbar!
Apakah ada anak kecil yang mengatakan,
“Saya laki-laki tapi bukan laki-laki” [?]
Padahal Allah ta’ala sendiri berfirman tentang diri-Nya (yang artinya), “Ar-Rahman menetap tinggi di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5).
Bagaimanakah kita
memahami ayat ini?
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang selamat dalam hal ini adalah jalan ulama salaf yaitu memberlakukannya sebagaimana adanya di dalam Al-Kitab dan As-
Sunnah tanpa membagaimanakan, tanpa menyelewengkan, tanpa menolak, dan tanpa menyerupakan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 5
hal. 202).
Apakah ayat ini menunjukkan bahwa Allah membutuhkan Arsy sebagaimana sangkaan sebagian orang? Sama sekali tidak. Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah di dalam kitab Aqidah Thahawiyahnya, yang menjadi rujukan ulama dari keempat madzhab mengatakan, “Dan Dia (Allah) tidak membutuhkan Arsy dan apa pun yang berada di bawahnya, Allah meliputi segala sesuatu dan Dia berada di atasnya…” (dinukil dari Syarah Ibnu Abil ‘Izz dengan tahqiq Al-Albani, hal. 280)
Dikisahkan bahwa Abu Hanifah rahimahullah pernah ditanya mengenai orang yang mengatakan,
“Aku tidak mengetahui apakah Rabbku di atas langit atau di bumi.”
Maka beliau menjawab bahwa
orang yang mengucapkan itu telah kafir, sebab Allah telah berfirman (yang artinya), “Ar-Rahman
menetap tinggi di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5).
Sedangkan Arsy-Nya berada di atas tujuh lapis langit-Nya.” Kemudian ditanyakan lagi kepadanya bagaimana kalau dia mengatakan, “Allah berada di atas Arsy, tapi aku tidak tahu apakah Arsy itu di atas langit atau di bumi.” Maka Abu Hanifah berkata, “Dia juga kafir.
Sebab dia telah mengingkari Allah berada di atas langit.
Barangsiapa yang mengingkari Allah berada di atas langit maka dia kafir.” (Syarh Ath-Thahawiyah, hal.
288). (Akan tetapi dalam prakteknya sekarang tentunya kita tidak begitu saja mengatakan kafir
m apabila bertemu orang yang berkata seperti di atas, karena untuk mengafirkan masih ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi -ed)
Ketiga:
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya-berkata, “Akan tetapi Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu dalam diri manusia. Karena sebegitu dekatnya…”
Tanggapan:
Subhanallah, tidak henti-hentinya kaum sufi ini berdusta dan mempermainkan kata-kata
semaunya. Apakah Al-Qur’an dan As-Sunnah menyatakan bahwa Dzat Tuhan dapat dijumpai dan
menyatu dalam diri manusia, karena sebegitu dekatnya?
Sekali lagi inilah bukti bahwa orang-
orang sufi telah meninggalkan ilmu dan terpedaya dengan akal mereka yang rusak. Untuk menanggapi
ucapan semacam ini cukuplah kami kutip fakta sejarah yang dibawakan oleh penulis buku Tasawuf Belitan Iblis berikut ini:
“Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak awal perkembangannya hingga kemunculan secara
terang-terangan, kita akan mengetahui bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan
keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat agama Majusi, kemusyrikan yang
menyembah api, kemudian menjadi pusat Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari Arab.
Sesungguhnya tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah dan hukum, pada akhir abad ketiga
Hijriyah, yaitu tatakla Husain bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di depan
penguasa, yakni dia menyatakan bahwa Allah menyatu dengan dirinya, sehingga para ulama yang
semasa dengannya menyatakan bahwa dia telah kafir dan harus dibunuh. Pada tahun 309H/ 922M
ekskusi (hukuman bunuh) terhadap Husain bin Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun
demikian, sufisme tetap menyebar di negeri Parsi, bahkan kemudian berkembang di Irak.” (Sekian
nukilan kami) Kalau mereka mengatakan bahwa Allah bisa
menyatu dalam diri mereka, lantas buat apa mereka beribadah, lantas untuk apa mereka menyembah, kalau semua orang mengaku dirinya
adalah Allah maka siapakah yang akan disembah?
Maha suci Allah, ini adalah kedustaan yang sangat besar!
Kemudian, kalau mereka maksudkan dengan ucapan-ucapan itu makna yang lain, maka akan
kita katakan bahwa ucapan ini adalah bid’ah dan tidak dikenal oleh para ulama salaf. Kalau ucapan-
ucapan semacam ini dibiarkan maka syariat Islam akan berantakan.
Ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada orang tua mempelai perempuan,
“Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan.”
Kemudian setelah itu dia akan berkata kepada si mertua “Saya terima nikahnya tapi tidak menerima nikahnya.”
Lah, bagaimana ini?
Sejak kapan orang-orang itu menjadi kehilangan akalnya?
Rumah sakit jiwa lebih layak bagi orang-orang semacam itu daripada masjid.
Keempat:
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya-berkata, “Seluruh Imam Madzhab pada Akhirnya
kembali kepada Sufi. Kecuali Wahabi..”
Tanggapan:
Saudaraku, kalau memang ajaran sufi dengan berbagai macam aliran tarekatnya adalah benar dan para imam madzhab mengikutinya apa alasan kami untuk tidak mengikuti kalian?
Namun yang menjadi masalah adalah ajaran-ajaran sufi telah
jelas terbukti penyimpangannya.
Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan para ulama
yang lain telah memaparkan kepada kita tentang kesesatan ajaran mereka.
Al-Qur’an dan As-Sunnah bagi orang sufi sekedar kata-kata yang
bisa dipermainkan ke sana kemari.
Allah ta’ala mengatakan bahwa Allah itu esa (Qul Huwallahu
Ahad). Sementara orang-orang sufi mengatakan Allah menyatu dalam diri hamba-hambaNya, padahal hamba Allah itu banyak. Allah mengatakan bahwa diri-Nya tinggi berada di atas Arsy-Nya,
sementara orang-orang sufi mengatakan Allah di mana-mana tapi juga tidak di mana-mana.
Allahul musta’an, kalau memang boleh mengatakan demikian maka kita juga akan mengatakan “Semua
Imam Madzhab pada akhirnya kembali kepada Wahabi. Kecuali sufi.” Allahu yahdik.
Saudaraku, kami tidak bermaksud untuk mencaci maki siapa pun, kami hanya ingin saudara kami kembali ke jalan yang benar, itu saja. Syaikh Ihsan Ilahi Zahir -rahimahullah- dalam kitabnya: Tashawwuf Al-Mansya’ Walmashdar (Tasawuf,
Asal Muasal dan Sumber-Sumbernya) [halaman 28]
berkata: “Jika kita amati ajaran-ajaran tasawuf dari generasi pertama hingga akhir serta
ungkapan-ungkapan yang bersumber dari mereka dan yang terdapat dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu hingga kini, maka akan kita dapatkan bahwa di sana terdapat perbedaan yang sangat jauh antara tasawuf dengan ajaran-ajaran al-Quran dan as-Sunnah, begitu juga kita tidak akan
mendapatkan landasan dan dasarnya dalam sirah
(sejarah) Rasulullah serta para sahabatnya yang mulia yang merupakan makhluk-makhluk pilihan Allah.
Bahkan sebaliknya kita dapatkan bahwa tasawuf diadopsi dari ajaran kependetaan kristen, kerahiban Hindu, ritual Yahudi dan kezuhudan
Buda” (sebagaimana dikutip oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullah -salah seorang ulama
besar Saudi Arabia- dalam bukunya Hakikat Tasawuf [terjemah], hal. 20)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Orang yang meniti jalan kefakiran, tasawuf, zuhud dan ibadah; apabila dia tidak
berjalan dengan bekal ilmu yang sesuai dengan syariat maka akibat tanpa bimbingan ilmu itulah
yang membuatnya tersesat di jalan, dan dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.
Sedangkan orang yang meniti jalan fikih, ilmu, pengkajian dan kalam; apabila dia tidak mengikuti
aturan syariat dan tidak beramal dengan ilmunya, maka akibatnya akan menjerumuskan dia menjadi
orang yang fajir (berdosa) dan tersesat di jalan.
Inilah prinsip yang wajib dipegang oleh setiap muslim. Adapun sikap fanatik untuk membela suatu urusan apa saja tanpa landasan petunjuk dari Allah maka hal itu termasuk perbuatan kaum
jahiliyah.” (Majmu’ Fatawa, juz 2 hal. 444. Asy-Syamilah)
Sebelum menutup tulisan ini, perlu kiranya kita ingat bersama dampak yang timbul akibat merebaknya ajaran sufi ini di masyarakat -
khususnya di negeri kita ini- sebagaimana yang pernah kami saksikan sendiri bahkan kami dahulu termasuk di antara mereka -dengan taufik dari Allahlah kami meninggalkannya dan menemukan
manhaj salaf yang mulia ini-, perhatikanlah dengan mata yang jernih dan pikiran yang tenang…
bukankah tersebarnya pemujaan kubur-kubur wali dan orang-orang salih -yang notabene adalah syirik dan bid’ah- di negeri ini timbul karena dakwah dan ajaran sufi?
Cermatilah wahai saudaraku yang cerdas… betapa ramainya kubur
para wali dikunjungi dan dijadikan tempat untuk mencari berkah, berdoa, beristighotsah dan
bertawassul dengan orang-orang yang sudah mati.
Dimanakah gerangan itu terjadi?,
Apakah di pusat- pusat dakwah salafiyah -yang hakiki- ataukah di
pusat-pusat dakwah salafiyah yang sebenarnya lebih layak untuk disebut sufi?
Padahal, kita semua
mestinya sudah mengerti bahwa dosa kesyirikan adalah dosa yang tidak diampuni. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah
tidak mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik itu
bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’: 48)
Sebagaimana pula kebid’ahan bukan semakin menambah pelakunya dekat dengan Allah, namun justru semakin dekat dengan syaitan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini salah satu lafazh Muslim).
Simaklah keterangan Ibnu Hajar
dan An-Nawawi berikut ini… semoga hati kita menjadi semakin mantap mengikuti kebenaran….
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini tergolong pokok ajaran Islam dan salah satu
kaidahnya. Makna dari hadits ini adalah; barangsiapa yang mereka-reka sesuatu dalam urusan agama yang tidak didukung dengan dalil di
antara dalil-dalil agama yang ada maka hal itu tidak diakui.” (Fath Al-Bari, 5/341.
Lihat juga keterangan serupa oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim, 6/295). An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Di dalamnya terkandung bantahan bagi segala bentuk perkara yang baru (dalam agama), sama saja apakah yang menciptakan itu adalah pelakunya atau ada orang lain yang lebih dulu membuatnya.” (Syarh Muslim, 6/295). Itulah
ucapan yang adil dan bijak dari dua orang ulama besar penganut madzhab Syafi’i…
Sungguh bijak ucapan buya HAMKA rahimahullah yang mengatakan, “Daripada gambaran yang saya
kemukakan selayang pandang itu, dapatlah kita memahamkan bagaimana sangat perlunya
pembersihan aqidah dari syirik, bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah, yang telah menimpa negeri
kami sejak beberapa zaman, dan perlunya kepada kemerdekaan pikiran dan memperbaharui paham
tentang ajaran Islam sejati.” (Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia, penerbit Tintamas Djakarta, hal. 6-7.
Buku ini dapat didownload di perpustakaanislam.com).
Semoga Allah berkenan memberikan taufik kepada
saudara-saudara kami yang meninggalkan jalan yang lurus agar mereka kembali menuju jalan yang
lurus itu kembali. Alangkah senangnya hati kami jika saudara-saudara kami mendapatkan hidayah, sebagaimana kami juga meminta kepada-Nya dengan nama-namaNya yang terindah dan sifat-sifatNya yang maha tinggi untuk mewafatkan kita di atas jalan yang lurus itu dalam keadaan Allah
meridhai kita dan mengampuni segala dosa dan kesalahan kita. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha mengabulkan doa. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
***
Ditulis Oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi dari Artikel www.muslim.or.id
Tips Rumah Tangga Romantis
Bismillah...
Rumah tangga yang ideal bukanlah rumah tangga yang tidak pernah di hampiri dengan masalah-masalah didalamnya, namun yang terpenting adalah bagaimana kita bisa
menghadapi dan menyelesaikan masalah itu bersama-sama.
Rumah tangga yang tangguh
adalah rumah tangga yang tahan di terjang badai dan ombak dalam kehidupan berumah tangga.
Agar rumah tangga terus menerus dalam keharmonisan, perlu kiranya kita mencoba tips-tips yang membuat rumah tangga kita tetap
harmonis. Kalau sebuah rumah tangga tercipta keharmonisan maka maslalah apapun yang dihadapi, insyaAllah bisa terselesaikan.
Kami akan mencoba memberikan tips-tips menciptakan Rumah tangga yang Harmonis, diantaranya;
1. Menjaga kebersihan diri baik Suami ataupun lstri,
2. Berpenampilan Rapih dan Bersih,
3. Berhias dan memakai wewangian,
4. Jujur dan amanahm
5. Berbicara lemah lembut,
6. Memanggil dengan panggilan kasih sayang,
7. Memandang dengan pandangan kasih sayang,
8. Tidak saling merendahkan,
9. Memperhatikan kelebihan dan menutupi kekurangan pasangan,
10. Saling mengalah dan memaafkan,
11. Tidak Mencela masakan lstri,
12. Saling menasihati dan mengajari,
13. Menghayati posisi masing-masing,
14. Menghargai kecendrungan masing-masing,
15. Saling merasakan derita pasangan,
16. Salung memperhatikan kepentingan pasangan,
17. Menjauhi segala hal yang bisa menimbulkan kecemburuan,
18. Tidak membanding-bandingkan pasangan dengan orang lain,
19. Meringankan beban kerja pasangan,
20. Bergandengan tangan,
21. Bersenda gurau sama pasangan,
22. Tidur di pangkuan,
23. Saling membelai dan meraba,
24. Sering mencium,
25. Tidur seranjang,
26. Saling memuaskan,
27. Meluangkan waktu khusus untuk pasangan,
28. Saling mengoleskan minyak wangi,
29. Merapikan dan menyisir rambut suamim,
30. Mandi bersama atau saling memandikan,
31. Makan bersama dan saling menyuapi,
32. Rekreasi bersama,
33. Mengadakan perlombaan ringan, seperti lari atau semisalnya,
34. Saling memberikan hadiah,
35. Menyelesaikan masalah dengan fikiran bersama,
36. Shalat bersama "terlebih shalat malam",
37. Saling mendo'akan "terutama ketika berjauhan",
38. Memiliki tempat pribadi,
39. Menata tempat tidur seromantis mungkin,
40. Menciptakan kenyamanan tempat tinggal.
Itulah diantara tips-tips yangbisa kami sampaikan, semoga bermanfaat dan menjadikan
keluarga kita keluarga yang harmonis dan diridhoi Allah ta'ala.
NB; Walaupun sudah lama berumah tangga, janganlah menganggap remeh keromantisan dan keharmonisan dalam rumah tangga anda.
Barokallahu fikum...
Selamat mencoba...!
Laporan Khusus ISIS
Laporan Khusus: Lagi ISIS
Menyembelih Mujahidin Jabhah
Islamiyah
Addurar As-Syamiyah melaporkan Abu Al-Miqdam telah syahid hari ini.
Beliau adalah komandan Brigade Artileri dan Roket Harakah Ahrarus Syam Al-Islamiyah yang bernaung dibawah Jabhah Islamiyah. Beliau dibunuh dengan cara yang sangat keji, yakni disembelih oleh tentara ISIS.
Sumber terpercaya Addurar menyebutkan bahwa Abu Al-Miqdam yang dikenal dengan nama “Sang Pemburu tank” sedang dalam perjalanan pulang dari Qalamoun timur menuju Idlib, kemudian
sekelompok pasukan ISIS menyergap beliau di pedesaan Hammah selatan.
Abu Al-Miqdam pernah ikut serta
bertempur dalam penaklukan Gudang Senjata 559, beliau disana berhasil menghancurkan 4 tank musuh dan membunuh 23 penjaga.
Abu Al-Miqdam adalah salah satu
pejuang Harakah Ahrar As-Syam Al-
Islamiyah yang paling menonjol. Beberapa bulan yang lalu beliau memenuhi panggilan untuk membantu teman-temannya dalam pertempuran di Qalamoun Barat dan daerah Sahel.
Disana beliau berhasil meluluhlantakkan banyak sekali tank tentara rezim Assad.
Kini beliau telah menjemput cita-citanya untuk syahid fi sabilillah di tangan kotor tentara ISIS.
Sungguh kejadian ini kembali mambakar hati para muwahidun
karena yang membunuh beliau adalah mereka yang menyebut diri mereka sebagai penegak Negara Islam (ISIS).
Ya Allah balaslah kedhaliman para
penjahat ini Singkaplah hakikat keburukan mereka di hadapan umat
Dan terimalah para syuhada’ kami
disisiMu.
Keterangan Foto : Tentara ISIS mengeksekusi Abu Al-Miqdam dengan cara keji.
Diposkan oleh: Muqawamah Media Team (17 Mei 2014)
Tambahan admin:
Berilah hidayaMu pada mereka yang terjerumus di barisan ISIS serta kuatkanlah barisan mujahidMu ya rabb untuk menegakkan kalimatMu.
Luluh lantahkan barisan Basar Asad al-Fir'auni, hancurkan kekuatan mereka.
اللهم انصر إخواننا المسلمين المسترعفين في سوريا و في فلسطين و في كل مكان... الله آمين
Jumat, 16 Mei 2014
One Day One Juz
Fatwa Ulama: Metode One Day One
Juz Dalam Membaca Al Qur’an
Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad dan Syaikh Abdurrazaq Al Abbad
Soal:
ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻳﺎ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﺍﺣﺴﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻴﻜﻢ ﻧﺤﻦ ﻣﻦ
ﺍﻧﺪﻭﻧﻴﺴﻴﺎ ﻳﺎ ﺷﻴﺦ ﻫﻨﺎﻙ ﻧﻔﺮ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻧﺎ ﻫﺬﺍ ﻳﺼﻨﻊ
ﺑﺮﻧﺎﻣﺞ ﻳﺴﻤﻰ onedayonejuz ﺍﻱ “ ﺟﺰﺀ ﻭﺍﺣﺪ
ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ” ﻛﻞ ﻋﻀﻮ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺮﻧﻤﺞ ﻳﺰﻟﻢ ﺑﻘﺮﺍﺀﺓ ﺟﺰﺀ
ﻣﻌﻴﻦ ﻛﺎﻣﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺃﻥ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ، ﻭﻓﻲ ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﻴﻮﻡ
ﻳﻘﺮﺭﻭﻥ ﺍﻟﻰ ﺍﺩﺍﺭﺓ ﺍﻟﺒﺮﻧﺎﻣﺞ ﺍﻧﻬﻢ ﻗﺪ ﻗﺮﺀﻭﺍ ﻭ ﺍﻧﺘﻬﻮﺍ
ﺑﺠﺰﺀ ﻛﺬﺍ ﻭ ﻛﺬﺍ , ﺍﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻤﻞ ﺍﻟﻌﻀﻮ ﺍﻟﻘﺮﺃﺓ ﺟﺰﺀﺍ ﻓﻌﻠﻴﻪ
ﻧﻮﻉ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ ﻫﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺮﻧﺎﻣﺞ ﺣﺴﻦ ﺍﻡ ﻣﻦ
ﺍﻟﻤﺤﺬﻭﺭ ؟
Assalamu’alaikum wahai Syaikh kami, semoga Allah menganugerahkan kebaikan pada anda, Kami dari Indonesia ya Syaikh, di negeri kami
ada sebagian orang yang membuat suatu program yang bernama ‘onedayonejuz’ artinya ‘satu juz dalam sehari’. Setiap anggota dari
program ini diwajibkan untuk membaca 1 juz tertentu dari Al Qur’an dalam sehari. Di akhir
hari mereka melaporkan kepada pengurus program ini bahwa mereka sudah membaca juz sekian dan sekian. Jika ternyata mereka tidak
bisa menyempurnakan bacaan sebanyak 1 juz maka mendapatkan sejenis hukuman*).
Apakah program ini baik ataukah terlarang?
Syaikh Abdurrazzaq menjawab yang intinya beliau mengatakan,
ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻻ ﺃﺻﻞ ﻟﻪ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻳﻘﺮﺃ ﻣﺎ ﺗﻴﺴﺮ
“amalan ini tidak ada asalnya dan yang benar hendaknya seseorang membaca yang mudah
baginya”
Syaikh Abdurrazaq juga meminta Ustadz Abu Hatim untuk menanyakan pandangan ayah
beliau, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad, terhadap masalah ini dan beliau menjawab:
ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻟﻴﺲ ﺑﻄﻴﺐ
“amalan ini tidak baik”
—*) kami mendengar dari beberapa sumber bahwa peserta ODOJ yang tidak menyelesaikan bacaan 1 juz sampai beberapa kali akan ditransfer ke grup lain, atau dikeluarkan. Inilah hukuman yang kami maksud.
[Pertanyaan disampaikan secara langsung oleh Ustadz Abu Hatim Sigit, asisten Syaikh Abdurrazaq Al Abbad, dan jawaban disampaikan Ustadz Abu Hatim kepada redaksi
Muslim.Or.Id]
Fatwa Syaikh Ali Ridha Al Madini
Soal:
ﻳﺎ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻫﻨﺎﻙ ﺑﺮﻧﺎﻣﺞ ﻳﺴﻤﻰ “ ﺟﺰﺀ ﻭﺍﺣﺪ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ,”
ﻛﻞ ﻋﻀﻮ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺮﻧﻤﺞ ﻳﻠﺰﻡ ﺑﻘﺮﺍﺀﺓ ﺟﺰﺀ ﻣﻌﻴﻦ ﻛﺎﻣﻞ
ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺃﻥ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ، ﻭﻓﻲ ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻳﻘﺮﺭﻭﻥ ﺍﻟﻰ
ﺍﻻﺩﺍﺭﺓ ﺍﻧﻬﻢ ﻗﺪ ﻗﺮﺀﻭﺍ ﻭ ﺍﻧﺘﻬﻮﺍ ﺑﺠﺰﺀ ﻛﺬﺍ ﻭ ﻛﺬﺍ ,
ﻓﺼﺎﺭ ﺑﻤﺠﻤﻮﻋﺔ ﻳﺨﺘﻤﻮﻥ ﺍﻟﻘﺮﺃﻥ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻴﻮﻡ
ﺑﺰﻋﻤﻬﻢ , ﺍﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻤﻞ ﺍﺣﺪﻫﻢ ﺍﻟﻘﺮﺃﺓ ﺟﺰﺀﺍ ﻛﺎﻣﻼ
ﻓﻴﻌﺘﺮﺽ ﺍﻻﺩﺍﺭﺓ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻟﺒﺎﻗﻲ ﺍﻟﻲ ﻋﻀﻮ ﺍﺧﺮ ,ﻫﻞ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﺒﺮﻧﺎﻣﺞ ﺣﺴﻦ ؟
Wahai Syaikh, ada suatu program yang bernama ‘onedayonejuz’. Setiap anggota dari program ini diwajibkan untuk membaca 1 juz
tertentu dari Al Qur’an dalam sehari.
Di akhir hari mereka melaporkan kepada pengurus program ini bahwa mereka sudah membaca juz
sekian dan sekian. Sehingga dengan demikian mereka mengkhatamkan Al Qur’an dalam sehari, menurut mereka. Jika ternyata salah
seorang diantara mereka tidak bisa
menyempurnakan bacaan sebanyak 1 juz maka pengurus akan menawarkan bacaan yang
tersisa tersebut kepada anggota yang lain.
Apakah program ini baik?
Jawab:
ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻣﺒﺘﺪﻉ ﻻ ﺃﺻﻞ ﻟﻪ ! ﻭﻻ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﺧﺘﻤﺔ ﻛﺎﻣﻠﺔ
ﻟﻠﺸﺨﺺ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ
“Ini adalah amalan yang bid’ah, dan tidak ada asalnya. Dan setiap anggota grup tersebut
tidak dianggap telah mengkhatamkan Al Qur’an
(di hari itu).”
—
[Syaikh Ali Ridha Al Madini adalah pengajar ilmu qira'ah di masjid Nabawi di Madinah Al Munawwarah, seorang muhaqqiq, pakar ilmu
hadits, dan pembina forum ilmiah al
baidha. Pertanyaan diajukan oleh redaksi Muslim.Or.Id via Twitter, bisa diakses di sini ]
Fatwa Syaikh Ra’id alu Khiznah
Soal:
ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ . ﺃﺣﺴﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻟﻴﻜﻢ ﺷﻴﺨﻨﺎ . ﻧﺤﻦ ﻣﻦ
ﺃﻧﺪﻭﻧﻴﺴﻴﺎ , ﻭ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺃﻧﺎﺱ ﻭﺿﻌﻮﺍ ﺑﺮﻧﺎﻣﺠﺎ ﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ
ﻓﻲ ﻣﺠﻤﻮﻋﺔ ﻣﻦ ﺃﺷﺨﺎﺹ ﻋﺪﺩﻫﻢ 30 ﻧﻔﺮﺍ . ﻭ ﻋﻠﻰ
ﻛﻞ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻨﻬﻢ ﺃﻥ ﻳﻘﺮﺃ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺟﺰﺃﺍ ﻭﺍﺣﺪﺍ ﻣﻌﻴﻨﺎ
ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ﻭﺍﺣﺪ . ﻭ ﺑﻌﺪ ﺍﻻﻧﺘﻬﺎﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺃﺧﺒﺮﻭﺍ
ﻣﺴﺆﻭﻝ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺮﻧﺎﻣﺞ ﺃﻧﻬﻢ ﻗﺪ ﻗﺮﺅﻭﺍ ﺟﺰﺀ ﻛﺬﺍ ﻭ ﻛﺬﺍ .
ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻫﻨﺎﻙ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻋﺔ ﻟﻢ ﻳﻜﻤﻞ ﻗﺮﺍﺀﺓ
ﺟﺰﺀ , ﺑﺤﻴﺚ ﺑﻘﻲ ﻟﻪ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻟﺬﻱ ﻛﻠﻒ ﺑﻪ ﺷﻲﺀ
ﻟﻢ ﻳﻘﺮﺃﻩ , ﻓﺘﻮﺯّﻉ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺘﺒﻘﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺑﻘﻴﺔ ﺃﻋﻀﺎﺀ
ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻋﺔ ( ﺍﻟﺬﻱ ﻋﺪﺩﻫﻢ 29 ﺷﺨﺼﺎ ) ﻹﺗﻤﺎﻡ ﻗﺮﺍﺀﺓ
ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺠﺰﺀ . ﻭ ﺍﻟﻐﺮﺽ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺮﻧﺎﻣﺞ ﻫﻮ ﺇﺗﻤﺎﻡ
ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺟﻤﺎﻋﺔ . ﻓﻬﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺮﻧﺎﻣﺞ ﻳﺠﻮﺯ ﺷﺮﻋﺎ ؟
ﺟﺰﺍﻙ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﺟﺎﺑﺔ .
Assalamu’alaikum wahai Syaikh kami, semoga Allah menganugerahkan kebaikan pada anda, Kami dari Indonesia ya Syaikh, di negeri kami ada sebagian orang yang membuat suatu
program dalam membaca Al Qur’an secara berkelompok yang satu kelompok itu terdiri
dari 30 orang. Setiap orang diwajibkan membaca 1 juz tertentu dari Al Qur’an dalam 1 hari. Setelah selesai membaca, mereka
melaporkan kepada ketua grup bahwa mereka telah membaca juz sekian dan sekian. Jika ada
seorang anggota grup yang tidak
menyempurnakan bacaan 1 juz, yaitu ia membaca juz yang menjadi jatahnya namun tidak selesai, maka sisa bacaan yang belum selesai ini dilelang kepada 29 anggota grup
yang lain. Supaya juz tersebut tetap menjadi sempurna dibaca.
Tujuan dari program ini adalah mengkhatamkan Al Qur’an secara
berjama’ah. Apakah program seperti ini dibolehkan secara syar’i?
Semoga Allah membalas kebaikan atas jawaban yang anda berikan.
Jawab:
ﺑﺎﺧﺘﺼﺎﺭ ﺍﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻟﻠﺘﻌﻠﻴﻢ ﻭﻫﻨﺎﻙ ﻣﻌﻠﻢ ﻟﻬﻢ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﻻ
ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻥ ﻛﺎﻥ ﻟﺨﺘﻢ ﺍﻟﻘﺮﺍﻥ ﻛﺎﺫﻛﺮ ﻓﻬﺬﺍ ﻻﻳﺠﻮﺯ
ﻭﻫﻲ ﺑﺪﻋﺔ
“Ringkasnya, jika ini dalam rangka belajar dan ada pengajar yang mengajarkan hukum-hukum
dalam membaca Al Qur’an diantara mereka, maka tidak mengapa.
Adapun jika hanya sekedar untuk mengkhatamkan Al Qur’an sebagaimana disebutkan, maka tidak boleh bahkan termasuk bid’ah.”
—
[Syaikh Ra'id Alu Khiznah adalah murid dari Syaikh Ali Hasan Al Halabi, Syaikh Salim Al Hilali, Syaikh Musa Alu Nashr. Pertanyaan
diajukan oleh Al Akh Abu Habibah Al Jakarti melalui facebook page Syaikh Ra'id Alu Khiznah ]
Fatwa Syaikh Dr. Ashim Al Qaryuti
Soal: [Sama seperti pertanyaan sebelumnya] Jawab:
ﻭﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻭﺭﺣﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺑﺮﻛﺎﺗﻪ ﺣﻴﺎﻛﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻣﺮﺣﺒﺎ
ﺑﻜﻢ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺑﻬﺬﻩ ﺍﻟﻜﻴﻔﻴﺔ ﻟﻴﺴﺖ ﻣﺸﺮﻭﻋﺔ ﻭﻫﻲ ﻣﻦ
ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﺎﺕ ﻭﻻ ﻳﻌﺪ ﻣﻦ ﻗﺮﺃ ﺟﺰﺀ ﺃﻧﻪ ﺧﺘﻢ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ .
ﻓﻴﻨﺼﺤﻮﺍ ﺑﺮﻓﻖ ﻭﻳﺤﺜﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺗﺪﺑﺮﻩ . ﻭﻓﻖ
ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺠﻤﻴﻊ ﻟﻜﻞ ﺧﻴﺮ
“wa’alaikumussalam warahmatullah
wabarakatuh , semoga Allah senantiasa memberikan anda keselamatan dan keluasan pada anda. Membaca Al Qur’an dengan
metode demikian tidaklah syar’i bahkan ia termasuk muhdatsat (perkara yang diada-adakan) dan orang yang membaca hanya 1 juz
tersebut tidak dianggap mengkhatamkan Al Qur’an.
Nasehatilah mereka dengan lemah
lembut. Dan hasunglah mereka untuk banyak membaca Al Qur’an dan mentadabburi-nya. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita
semua kepada kebaikan”
[Syaikh Dr. Ashim Al Qaryuti adalah murid dari Syaikh Al Albani, beliau sekarang menjabat sebagai guru besar di Jami'atul Imam.
Pertanyaan diajukan oleh Al Akh Abu Habibah Al Jakarti melalui facebook page Dr. Ashim Al
Qaryuti]
Sumber: (Artikel Muslim.Or.Id)
Bid'ah Hasanah
ULAMA SYAFI'IYAH MENGINGKARI BID'AH
Semakin memperkuat bahwa yang dimaksud oleh para ulama syafi'iyah dengan bid'ah hasanah adalah maslahah mursalah, ternyata kita mendapati mereka keras mengingkari perkara-perkara yang dianggap oleh masyarakat sebagai bid'ah hasanah
A. Pengingkaran Al-Izz bin Abdis Salam terhadap perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah
Berkata Abu Syamah (salah seorang murid Al-'Iz bin Abdissalam),
"Beliau (Al-'Iz bin Abdissalam) adalah orang yang paling berhak untuk berkhutbah dan menjadi imam, beliau menghilangkan banyak bid'ah yang dilakukan oleh para khatib seperti menancapkan pedang di atas mimbar dan yang lainnya. Beliau juga membantah sholat rogoib dan sholat nishfu sya'ban dan melarang kedua sholat tersebut" (Tobaqoot Asy-Syafi'iah al-Kubro karya As-Subki 8/210, pada biografi Al-'Iz bin Abdissalam)
Jawab : Berjabat tangan setelah sholat subuh dan ashar termasuk bid'ah kecuali bagi orang yang baru datang dan bertemu dengan orang yang dia berjabat tangan dengannya sebelum sholat, karena berjabat tangan disyari'atkan tatkala datang.
Setelah sholat Nabi berdzikir dengan dzikir-dzikir yang disyari'atkan dan beristighfar tiga kali kemudian beliau berpaling (pergi)… dan kebaikan seluruhnya pada mengikuti Nabi. Imam As-Syafi'i suka agar imam berpaling setelah salam. Dan tidak disunnahkan mengangkat tangan tatkala qunut sebagaimana tidak disyari'atkan mengangkat tangan tatkala berdoa di saat membaca surat al-Fatihah dan juga tatkala doa diantara dua sujud…
Dan tidaklah mengusap wajah setelah doa kecuai orang jahil. Dan tidaklah sah bersholawat kepada Nabi tatkala qunut, dan tidak semestinya ditambah sedikitpun atau dikurangi atas apa yang dikerjakan Rasulullah tatkala qunut" (Kittab Al-Fataawaa karya Imam Al-'Izz bin Abdis Salaam hal 46-47, kitabnya bisa didownload di http://majles.alukah.net/showthread.php?t=39664)
Beliau juga menyatakan bahwa mengirim bacaan qur'an kepada mayat tidaklah sampai (lihat kitab fataawaa beliau hal 96). Beliau juga menyatakan bahwasanya mentalqin mayat setelah dikubur merupakan bid'ah (lihat kitab fataawaa beliau hal 96)
B. Pengingkaran Imam As-Syafi'i terhadap perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah
Para imam madzhab syafiiyah telah menukil perkataan yang masyhuur dari Imam As-Syafii, yaitu perkataan beliau;
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
"Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara) maka dia telah membuat syari'at"
(Perkataan Imam As-Syafi'i ini dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi'i, diantaranya Al-Gozaali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur'aan, dan Ibnu Qudaamah dalam Roudhotun Naadzir)
Oleh karenanya barangsiapa yang menganggap baik suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi maka pada hakikatnya ia telah menjadikan ibadah tersebut syari'at yang baru.
Diantara amalan-amalan yang dianggap bid'ah hasanah yang tersebar di masyarakat namun diingkari Imam As-Syafi'i rahimahullah adalah :
a. Acara mengirim pahala untuk mayat yang disajikan dalam bentuk acara tahlilan.
Bahkan masyhuur dari madzhab Imam Asy-Syafii bahwasanya beliau memandang tidak sampainya pengiriman pahala baca qur'an bagi mayat. Imam An-Nawawi berkata:
"Dan adapun sholat dan puasa maka madzhab As-Syafi'i dan mayoritas ulama adalah tidak sampainya pahalanya kepada si mayat…adapun qiroah (membaca) Al-Qur'aan maka yang masyhuur dari madzhab As-Syafi'i adalah tidak sampai pahalanya kepada si mayat…" (Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 1/90)
b. Meninggikan kuburan dan dijadikan sebagai masjid atau tempat ibadah
Imam As-Syafi'i rahimahullah berkata :
وأكره أن يعظم مخلوق حتى يُجعل قبره مسجداً مخافة الفتنة عليه وعلى من بعده من الناس
"Dan aku benci diagungkannya seorang makhluq hingga kuburannya dijadikan masjid, khawatir fitnah atasnya dan atas orang-orang setelahnya" (Al-Muhadzdzab 1/140, Al-Majmuu' syarhul Muhadzdzab 5/280)
Bahkan Imam As-Syafi'i dikenal tidak suka jika kuburan dibangun lebih tinggi dari satu jengkal. Beliau berkata :
Aku telah melihat di Mekah ada diantara penguasa yang menghancurkan apa yang dibangun diatas kuburan, dan aku tidak melihat pera fuqohaa mencela penghancuran tersebut"(Al-Umm 1/277)
c. Pengkhususan Ibadah pada waktu-waktu tertentu atau cara-cara tertentu
Berkata Abu Syaamah :
"Imam As-Syafi'i berkata : Aku benci seseorang berpuasa sebulan penuh sebagaimana berpuasa penuh di bulan Ramadhan, demikian juga (Aku benci) ia (mengkhususkan-pent) puasa suatu hari dari hari-hari yang lainnya. Hanyalah aku membencinya agar jangan sampai seseorang yang jahil mengikutinya dan menyangka bahwasanya perbuatan tersebut wajib atau merupakan amalan yang baik" (Al-Baa'its 'alaa inkaar Al-Bida' wa Al-Hawaadits hal 48)
Perhatikanlah, Imam As-Syafii membenci amalan tersebut karena ada nilai pengkhususan suatu hari tertentu untuk dikhususkan puasa. Hal ini senada dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
« لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ »
"Janganlah kalian mengkhususkan malam jum'at dari malam-malam yang lain dengan sholat malam, dan janganlah kalian mengkhususkan hari jum'at dari hari-hari yang lain dengan puasa, kecuali pada puasa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian" (yaitu maksudnya kecuali jika bertepatan dengan puasa nadzar, atau ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, atau puasa qodho –lihat penjelasan Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaaj 8/19)
Perhatikanlah, para pembaca yang budiman, puasa adalah ibadah yang disyari'atkan, hanya saja tatkala dikhususkan pada hari-hari tertentu tanpa dalil maka hal ini dibenci oleh Imam As-Syafi'i.
Maka bagaimana jika Imam As-Syafii melihat ibadah-ibadah yang asalnya tidak disyari'atkan??!
Apalagi ibadah-ibadah yang tidak disyari'atkan tersebut dikhususkan pada waktu-waktu tertentu??
Beliau juga berkata dalam kitabnya Al-Umm
"Dan aku suka jika imam menyelesaikan khutbahnya dengan memuji Allah, bersholawat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, menyampaikan mau'izoh, dan membaca qiroa'ah, dan tidak menambah lebih dari itu".
Imam As-Syafii berkata : "Telah mengabarkan kepada kami Abdul Majiid dari Ibnu Juraij berkata : Aku berkata kepada 'Athoo : Apa sih doa yang diucapkan orang-orang tatkala khutbah hari itu?, apakah telah sampai kepadamu hal ini dari Nabi?, atau dari orang yang setelah Nabi (para sahabat-pent)?. 'Athoo berkata : Tidak, itu hanyalah muhdats (perkara baru), dahulu khutbah itu hanyalah untuk memberi peringatan.
Imam As-Syafii berkata, "Jika sang imam berdoa untuk seseorang tertentu atau kepada seseorang (siapa saja) maka aku membenci hal itu, namun tidak wajib baginya untuk mengulang khutbahnya" (Al-Umm 2/416-417)
Para pembaca yang budiman, cobalah perhatikan ucapan Imam As-Syafi'i diatas, bagaimanakah hukum Imam As-Syafii terhadap orang yang mengkhususkan doa kepada orang tertentu tatkala khutbah jum'at?, beliau membencinya, bahkan beliau menyebutkan riwayat dari salaf (yaitu 'Athoo') yang mensifati doa tertentu dalam khutbah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya dengan "Muhdats" (bid'ah). Bahkan yang dzohir dari perkataan Imam As-Syafii diatas dengan "aku benci" yaitu hukumnya haram, buktinya Imam Syafii menegaskan setelah itu bahwasanya perbuatan muhdats tersebut tidak sampai membatalkan khutbahnya sehingga tidak perlu diulang. Wallahu A'lam.
d. Dzikir berjama'ah secara keras selepas sholat fardu
Diantara bukti bahwa al-Imam al-Syafi‘i tidak memaksudkan bid‘ah dalam ibadah sebagai Bid‘ah hasanah adalah kritikan beliau terhadap kesinambungan berzikir secara keras selepas solat, yang tentunya amalan ini dianggap perkara yang baik/hasanah oleh sebagian pihak.
Imam Syafi'i rahimahullah berkata :
وأختار للامام والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكرَ إلا أن يكون إماما يُحِبُّ أن يتعلّم منه فيجهر حتى يَرى أنه قد تُعُلِّمَ منه ثم يُسِرّ.
Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka berdzikir selepas selesai sholat. Hendaklah mereka memelankan (secara sir) dzikir kecuali jika imam ingin mengajar bacaan-bacaan zikir tersebut, maka ketika itu dikeraskanlah dzikir, hingga dia menduga bahwa telah dipelajari darinya (bacaan-bacaan dzikir tersebut-pen), lalu setelah itu ia memelankan kembali dzikirnya (Al-Umm 2/288).
Adapun mengenai hadits-hadits yang menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi terdengar suara dzikirnya maka Imam Syafi’i menjelaskan seperti berikut:
Aku suka sekiranya imam berzikir nama Allah di tempat duduknya sebentar dengan kadar hingga perginya jama'ah wanita sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Salamah. Kemudian imam boleh bangun. Jika dia bangun sebelum itu, atau duduk lebih lama dari itu, tidak mengapa. Makmum boleh pula pergi setelah imam selesai memberi salam, sebelum imam bangun. Jika dia tunda/akhirkan sehingga imam pergi, atau ia pergi bersama imam, maka itu lebih aku sukai untuknya. " (Al-Umm 2/288-289)
Nyata sekali al-Imam As-Syafi’i rahimahullah tidak menamakan ini sebagai Bid‘ah Hasanah, sebaliknya beliau berusaha agar kita semua membiasakan diri dengan bentuk asal yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu asalnya Nabi berdzikir dengan pelan, dan hanya sesekali mengeraskan suara beliau untuk mengajarkan kepada para makmum. Seandainya maksud Bid‘ah Mahmudah/Hasanah yang disebut oleh al-Imam Asy-Syafi’i mencakup perkara baru dalam cara beribadah yang dianggap baik, sudah tentu beliau akan memasukkan dzikir secara kuat selepas sholat dalam kategori Bid‘ah Mahmudah. Dengan itu tentu beliau juga tidak akan berusaha menafikannya. Ternyata bukan itu yang dimaksudkan oleh beliau rahimahullah
C. Pengingkaran Imam An-Nawawi terhadap perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah
Pengklasifikasian bid'ah menjadi bid'ah dholalah dan bid'ah hasanah juga diikuti oleh Imam An-Nawawi, beliau berkata, "Dan bid'ah terbagi menjadi bid'ah yang jelek dan bid'ah hasanah", kemudian beliau menukil perkataan Al-'Iz bin Abdissalam dan perkataan Imam Asy-Syafi'i di atas (lihat Tahdzibul Asma' wal lugoot 3/22-23).
Akan tetapi ternyata didapati Imam An-Nawawi rahimahullah ternyata juga mengingkari beberapa praktek ibadah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai bid'ah hasanah.
a. Mengiringi janazah sambil membaca dzikir dengan mengangkat suara
Di dalam kitabnya al-Azkar, al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
Sesungguhnya Abu ‘Ali al-Fudail bin ‘Iyad rahimahullah pernah berkata: “Berpegang dengan jalan kebenaran, tidak akan memudorotkanmu sedikitnya orang yang menempuh jalan kebenaran tersebut. Dan jauhilah jalan yang sesat. Jangan engkau terperdaya dengan banyaknya golongan yang binasa (yang melakukannya).”
…… Adapun apa yang dilakukan oleh golongan jahil di Damaskus, yaitu melanjutkan bacaan al-Quran dengan dipanjang-pangjangkan dan bacaan yang lain ke atas jenazah, serta pembicaraan yang tiada kaitan, maka hukumnya adalah haram dengan ijma’ ulama. Sesungguhnya aku telah jelaskan dalam Kitab Adab al-Qurroo' tentang keburukannya, besar keharamannya dan kefasikannya bagi siapa yang mampu mengingkarinya tetapi tidak mengingkarinya" (Al-Adzkaar hal 160)
Nyata bahawa al-Imam al-Nawawi rahimahullah tidak menamakan perbuatan mem-bacakan al-Qur’an ketika mengiringi jenazah sebagai Bid‘ah Hasanah. Padahal sangatlah jelas bahwa membaca Al-Qur'an adalah perkara yang baik. Bahkan bukankah seseorang tatkala membaca al-Qur'an tatkala mengiringi janazah maka akan semakin mendatangakan kekhusyu'an??
Kenyataannya bahkan Imam Nawawi sangat keras mengingkari perbuatan ini. Dan tidak mungkin kita bisa mengingkari hal ini kecuali dengan dalil bahwasanya hal ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat.
b. Menambah lafal "wa barakaatuh" tatkala salam dari sholat
Dalam Syarh Sahih Muslim, al-Imam al-Nawawi rahimahullah berkata:
Bukankah penambahan “wa Barakatuh” merupakan satu penambahan yang pada zahirnya nampak baik?, bahkan disepakati kebaikannya tatkala diucapkan di luar sholat. Akan tetapi ternyata tambahan ini tidak dianggap baik oleh Imam An-Nawawi, akan tetapi dinilai oleh beliau merupakan bid'ah yang harus ditinggalkan. Dari penjelasan An-Nawawi di atas juga diambil faedah bahwasanya beliau tidak membolehkan hadits dhoif dijadikan hujjah/dalil untuk membuat suatu peribadatan.
c. Sholat Rogo'ib
Ketika mensyarahkan hadits berikut:
لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ.
“Jangan kalian mengkhususkan malam Jum'at diantara malam-malam yang lain dengan sholat. Jangan kamu mengkhususkan hari Jum'at –diantara hari-hari yang lain- dengan puasa, kecuali hari jum'at tersebut termasuk dari puasa yang sedang dikerjakan oleh salah seorang dari kalian"
al-Imam al-Nawawi rahimahullah berkata:
d. Sholat Malam Nishfu Sya'ban
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata
e. Acara kumpul-kumpul setelah kematian
Yang sunnah adalah para tetangga dan karib kerabat membuatkan makanan bagi keluarga duka, bukan malah sebaliknya justru keluarga duka yang sudah bersedih malah direpotkan untuk menyiapkan makanan apalagi sampai kenduri setelah kematian. Al-Imam An-Nawawi berkata:
Penulis kitab Asy-Syamil dan selain beliau berkata, "Adapun keluarga mayit membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang untuk makan maka tidak dinukilkan (dalilnya) sama sekali. Dan ini adalah perbuatan bid'ah yang tidak dianjurkan. Ini adalah perkataan penulis kitab As-Syamil, dan dalil akan hal ini adalah hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu ia berkata, "Kami menganggap berkumpul-kumpul di keluarga mayit dan membuat makanan setelah dikuburkannya termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Dan dalam riwayat Ibnu Majah tidak ada lafal "setelah dikuburkannya mayat" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/319-320)
f. Menambah lafal sholawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Adzkaar :
Tentunya sangat tidak diragukan bahwa mendoakan rahmat bagi Nabi dan keluarga Nabi merupakan perkara yang baik, akan tetapi menjadikan doa ini sebagai tambahan dalam rangkaian sholawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dianggap bid'ah oleh Imam An-Nawawi rahimahullah.
D. Pengingkaran As-Suyuthi terhadap perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah
Adapun As-Suyuthi rahimahullah, maka terlalu banyak mengingkari perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah oleh kebanyakan orang, terutama di masa beliau. Bahkan beliau menulis sebuah buku khusus –yang berjudul الأَمْرُ بِالِاتِّبَاعِ وَالنَّهْيُ عَنِ الاِبْتِدَاعِ (Perintah untuk ittiba'/mengikuti sunnah dan larangan untuk berbuat bid'ah, bisa didownload di http://www.4shared.com/get/lbBW0G8g/_____________.html)- untuk menjelaskan bid'ahnya perkara-perkara tersebut.
Dalam bukunya tersebut As-Suyuthi rahimahullah telah megklasifikasikan bid'ah mustaqbahah/buruk sebagai berikut:
Pertama : Bid'ah-bid'ah dalam aqidah yang mengantarkan kepada kesesatan dan kerugian.
Beliau mencontohkan bid'ah-bid'ah ini adalah bid'ah-bid'ah aqidah yang dilakukan oleh 72 golongan sesat, yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya mereka di neraka (lihat Al-Amru bil ittibaa' hal 93-94)
Kedua : Bid'ah-bid'ah dalam perbuatan dan peribadatan. Dan inipun terbagi menjadi dua bagian ;
- Bid'ah-bid'ah yang jelas diketahui oleh orang awam terlebih lagi para ulama, dan bid'ah- bid'ah ini bisa jadi hukumnya haram atau makruh
- Bid'ah-bid'ah yang disangka merupakan ibadah dan qurbah yang mendekatkan kepada Allah.
1. Nyanyian dan joget dalam beribadah. Beliau menyatakan bahwa orang yang melakukan hal ini maka telah bermaksiat kepada Allah dan RasulNya, telah gugur muru'ahnya, dan tertolak syahadahnya/persaksiannya (lihat Al-Amru bil ittibaa' hal 99).
Tentunya di tanah air kita banyak saudara-saudara kita yang masih beribadah dengan nyanyian bahkan dengan musik-musikan, dan sebagian mereka beribadah dengan tarian-tarian.
2. Bernadzar untuk kuburan, kuburan siapapun, karena ini merupakan kemaksiatan berdasarkan kesepakatan para ulama (lihat Al-Amru bil ittibaa' hal 118)
3. Berdoa di kuburan. As-Suyuthi berkata, "
"Adapun dikabulkannya doa di kuburan-kuburan tersebut bisa jadi karena yang berdoa benar-benar merasa terjepit/terdesak (sehingga itulah yang menjadikannya dikabulkan oleh Allah, bukan karena keberadaannya di kuburan-pen), atau sebabnya adalah murni rahmat Allah kepadanya, atau karena perkara tersebut telah ditaqdirkan oleh Allah untuk terjadi dan bukan karena doanya. Dan bisa jadi ada sebab-sebab yang lain, meskipun sebab-sebab tersebut adalah fitnah baginya yang berdoa.
Orang-orang kafir dahulu berdoa, lalu dikabulkanlah doa mereka, mereka diberi hujan, mereka ditolong dan diselamatkan, padahal mereka berdoa di sisi berhala-berhala mereka dan mereka bertawassul dengan berhala-berhala mereka" (Al-Amru bil ittibaa' hal 124)
4. Berdoa dan beribadah di kuburan para nabi dan orang-orang sholeh. As-Suyuthi berkata :
"Diantara tempat-tempat tersebut adalah tempat-tempat yang memiliki kekhususan, akan tetapi hal ini tidak melazimkan untuk menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai 'ied, dan juga tidak melazimkan untuk sholat di sisinya atau ibadah-ibadah yang lainnya, seperti doa di sisinya. Diantara tempat-tempat tersebut adalah kuburan para nabi dan kuburan orang-orang sholeh" (Al-Amru bil ittibaa' hal 125)
5. Berdoa di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Setelah menyebutkan hadits-hadits yang melarang beribadah di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam As-Suyuthi berkata ;
"Sisi pendalilannya adalah, bahwasanya kuburan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah kuburan yang paling mulia di atas muka bumi. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan kuburan tersebut sebagai 'ied yaitu yang didatangi berulang-ulang, maka kuburan selain beliau –siapapun juga dia- lebih utama untuk dilarang.
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggandengkan larangan menjadikan kuburannya sebagai 'ied dengan sabda beliau "Dan janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan", maksudnya yaitu janganlah kalian kosongkan rumah-rumah kalian dari sholat, doa, dan membaca al-Quran, sehingga bisa jadi seperti kedudukan kuburan (yang tidak dilaksanakan sholat, doa, dan baca al-Qur'an di situ-pen). Rasulullah memerintahkan untuk semangat melakukan ibadah di rumah, dan melarang untuk beribadah di kuburan. Hal ini berkebalikan dengan apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin Nashoro dan orang-orang yang bertasyabbuh dengan mereka.
Kemudian setelah Nabi melarang untuk menjadikan kuburannya sebagai 'ied beliau melanjutkan dengan sabda beliau "Bersholawatlah kalian kepadaku, karena sholawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun kalian berada". Beliau mengisyaratkan bahwa apa yang akan diraih olehku beliau karena sholawat dan salam kalian kepadaku, akan terjadi sama saja apakah kalian dekat dengan kuburanku atau jauh dari kuburanku, oleh karenanya kalian tidak butuh untuk menjadikan kuburanku sebagai 'ied.
Kemudian tabi'in yang terbaik dari ahlul bait yaitu Ali bin Al-Husain telah melarang lelaki tersebut yang sengaja untuk berdoa di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan beliau menjelaskan kepada lelaki tersebut bahwasanya tujuannya untuk berdoa di kuburan Nabi sama saja dengan bermaksud menjadikan kuburan Nabi sebagai 'ied. Demikian juga sepupunya Husain bin Hasan yang merupakan syaikh Ahlul bait, beliau membenci seseorang yang bermaksud mendatangi kuburan Nabi untuk memberi salam kepadanya dan yang semisalnya, dan beliau memandang hal tersebut termasuk menjadikan kuburan Nabi sebagai 'ied.
Lihatlah kepada sunnah ini, bagaimana sumber sunnah ini dari Ahlul Bait Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang mereka memiliki kedekatan nasab kepada Nabi, kedekatan rumah, karena mereka lebih butuh untuk hal-hal seperti ini daripada selain mereka, maka mereka lebih paham tentang hal-hal ini". (Al-Amru bil ittibaa' hal 127-128)
6. Membangun masjid di kuburan, As-Suyuthi berkata :
"Adapun membangun masjid di atas kuburan, menyalakan lentera-lentera atau lilin-lilin, atau lampu-lampu di kuburan, maka pelakunya telah dilaknat sebagaimana telah datang dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam" (Al-Amru bil ittibaa' hal 129)
As-Suyuthi juga berkata ;
"Masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan maka wajib untuk dihilangkan, dan hal ini termasuk perkara yang tidak diperselisihkan diantara para ulama yang ma'ruf. Dan dimakruhkan sholat di masjid-masjid tersebut tanpa ada khilaf. Dan menurut dzhohir madzhab Imam Ahmad sholat tersebut tiadk sah, dikarenakan larangan dan laknat yang datang pada perkara ini" (Al-Amru bil ittibaa' hal 134)
7. Sholat di sisi kuburan. As-Suyuthi berkata :
"Demikian pula sholat di sisi kuburan maka hukumnya makruh, meskipun tidak dibangun di atasnya masjid. Karena seluruh tempat yang digunakan untuk sholat maka ia adalah masjid, meskipun tidak ada bangunannya. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasalam telah melarang hal itu dengan sabdanya, "Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah sholat kearah kuburan", beliau juga bersabda, "Jadikanlah sebagian sholat kalian di rumah-rumah kalian, dan janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian kuburan". Sebagaimana kuburan bukanlah tempat sholat maka janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti itu. Dan tidak sah sholat diantara kuburan-kuburan menurut madzhab Imam Ahmad, dan hukumnya makruh menurut selain beliau" (Al-Amru bil ittibaa' hal 135).
As-Suyuthi rahimahullah juga berkata ;
"Dan juga sesungguhnya sebab peribadatan terhadap Laatta adalah pengagungan terhadap orang sholeh….dahulu Laatta membuat adonan makanan di yaman untuk diberikan kepada para jama'ah haji. Tatkala ia meninggal maka mereka I'tikaf di kuburannya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya Wad, Suwaa', Yaghuuts, Ya'uuq, dan Nasr adalah nama-nama orang-orang sholeh yang ada antara zaman Nabi Adam dan zaman Nabi Nuh 'alaihimas salam. Mereka memiliki para pengikut yang meneladani mereka. Tatkala mereka meninggal maka para pengikut mereka berkata, "Seandainya kita membuat patung-patung mereka". Tatkala para pengikut tersebut meninggal dan datang kaum yang lain setelah mereka maka datanglah Iblis kepada mereka dan berkata, "Mereka dahulu menyembah patung-patung tersebut, dan dengan sebab mereka turunlah hujan". Maka merekapun menyembah patung-patung tersebut. Hal ini telah disebutkan oleh Muhammad bin Jarir dengan sanadnya"
Dan karena sebab inilah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang, dan sebab inilah yang menjerumuskan banyak umat-umat kepada syirik akbar atau yang dibawahnya. Karenanya engkau dapati banyak kaum dari kalangan orang-orang sesat yang mereka merendahkan diri di kuburan orang-orang sholeh, mereka khusyu' dan merendah. Mereka menyembah orang-orang sholeh tersebut dengan hati-hati mereka dengan suatu ibadah yang tidak mereka lakukan tatkala mereka di rumah-rumah Allah, yaitu masjid-masjid. Bahkan tidak mereka lakukan tatkala di waktu sahur di hadapan Allah ta'aala. Dan mereka berharap dengan sholat dan doa di sisi kuburan apa-apa yang mereka tidak harapkan tatkala mereka di masjid-masjid yang boleh bersafar ke mesjid-mesjid tersebut (yaitu masjidil haram, masjid nabawi, dan masjid aqso-pen). Ini adalah kerusakan yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menghilangkannya secara total, bahkan sampai-sampai Nabi melarang untuk sholat di kuburan secara mutlak, meskipun orang yang sholat tidak bermaksud untuk mencari keberkahan kuburan atau keberkahan tempat, dalam rangka menutup perkara yang bisa mengantarkan kepada kerusakan/mafsadah tersebut, yang menyebabkan disembahnya berhala-berhala" (Al-Amru bil ittibaa' 138-139)
As-Suyuti juga berkata ;
"Adapun jika seseorang bertujuan untuk sholat di kuburan atau berdoa untuk dirinya pada urusan-urusan pentingnya dan hajat kebutuhannya dengan mencari keberkahan dan mengharapkan dikabulkannya doa di kuburan, maka ini jelas bentuk penentangan kepada Allah dan RasulNya, serta penyelisihan terhadap agama dan syari'atnya dan perbuatan bid'ah yang tidak diizinkan oleh Allah dan RasulNya serta para imam kaum muslimin yang mengikuti atsar dan sunnah-sunnahnya. Karena bertujuan menuju kuburan untuk berdoa mengharapkan untuk dikabulkan merupakan perkara yang dilarang, dan lebih dekat kepada keharaman.
Para sahabat radhiallahu 'anhum beberapa kali mendapati musim kemarau dan juga menghadapi masa-masa sulit setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas kenapa mereka tidak datang ke kuburan Nabi lalu beristighotsah dan meminta hujan di kuburan beliau –padahal beliau adalah manusia yang paling mulia di sisi Allah-?. Bahkan Umar bin Al-Khotthob membawa Al-'Abbas paman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke musholla lalu Umar meminta Abbas untuk berdoa meminta hujan, dan mereka tidak meminta hujan di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam" (Al-Amru bil ittibaa' 139)