Senin, 30 Maret 2015

Tamparan Menlu Saudi Terhadap Presiden Rusia

Tamparan Menlu Saudi Pangeran Suud bin Faishol Kepada Presiden Rusia Vladimir Putin.

Ada yang menarik pada acara penutupan Konfrensi Tingkat Tinggi Liga Arab hari ini. Sebelum di tutup Ahmad bin Huly selaku wakil sekjen liga Arab membacakan surat presiden Rusia Vladimir Putin kepada forum. Dalam surat tersebut Putin menyatakan bahwa negaranya mendukung sepenuhnya segala usaha untuk meredam berbagai permasalahan yang terjadi di timur tengah. Dia juga meminta agar semua persoalan terkait Yaman, Suriah, Libiya diselesaikan dengan jalan dialog menurut undang-undang internasional.

Namun sebelum konfrensi ditutup, Menlu Arab Saudi Pangeran Suud yang tak lain adalah Putra King Faishal bin Abdul Aziz meminta waktu pada Presiden As-Sisi selaku pimpinan forum untuk menanggapi surat tersebut.

Dalam tanggapannya Pangeran Suud bin Faishal mengatakan;

“Saya punya tanggapan terhadap surat yang dilayangkan presiden Rusia itu.
Presiden Rusia berbicara tentang krisis yang terjadi di timur tengah, seolah-olah Rusia tidak punya andil terhadap apa yang kita saksikan saat ini.

Sebagai contoh krisis Suriah. Rusia berbicara tentang krisis yang terjadi di Suriah saat ini, padahal mereka adalah bagian terpenting dalam krisis yang melanda Suriah. Mereka menyuplai persenjataan kepada pemerintah Suriah melebihi kebutuhan pemerintah Suriah untuk memerangi rakyatnya. Mereka menyuplai senajata-senjata yang jitu untuk Suriah. Bahkan terdapat bukti adanya senjata yang berasal dari Rusia, dimana senjata-senjata tersebut melanggar peraturan internasional karena termasuk senjata pemusnah masal.

Beliau juga menyampaikan kritik terhadap Rusia yang melanggar undang-undang yang berlaku di negaranya tentang larangan menjual senjata kepada negara-negara yang menggunakannya untuk menyerang. dan hanya menjual kepada negara yang membela diri saja.

Suud bin Faishol bertanya-tanya, “Bagimana mungkin kita bisa menerima apa yang ditawarkan kepada kita..? Apakah ini bentuk perendahan terhadap pandangan kebijakan kita terkait masyarakat suriah..?
Apakah ini bentuk sikap masa modoh terhadap tragedi yang terjadi di Suriah..?

Bukankah kita patut bertanya-tanya, bagaimana bisa dia mengajak untuk melakukan jalan damai dan disaat yang sama dia tetap melancarkan dukungan materi terhadap pemerintah Suriah yang telah kehilangan otoritasnya secara de facto..?

Suud juga meminta agar Sikap Putin terkait Suriah sejalan dengan apa yang dituangkannya dalam surat tersebut”.

Beliau menambahkan bahwa saya tidak ingin berdiri melawan Rusia, tapi kita ingin melihat Rusia sebagai negara sahabat yang menginginkan kebaikan untuk kita, bukan malah membantu orang lain mengacaukan wilayah kita, wilayah jazirah Arab.

Terimah kasih”

Selesai

Ketegasannya mengingatkan saya pada sang ayah, King Faishol bin Abdul Aziz -rahimahullah-. Semoga Allah menjaga Pangeran Suud bin Faishol dan seluruh pemimpin kaum muslimin.

Selengkapnya di: https://www.youtube.com/watch?v=y4WhYN3DP1k
(Mohon diluruskan bila ada terjemahan kami yang keliru)
__________
Madinah 09-06-1436 H
Penerjemah: ACT El-Gharantaly

Serangan Terhadap Syi'ah Yaman

KENAPA SAUDI TIDAK MENYERANG ISRAEL  UNTUK MEMBEBASKAN MASJID AL-AQSHA DAN KENAPA LEBIH MEMILIH MENYERANG TERORIS SYI'AH HOUTSI?

Jika ada yang bertanya:
Kenapa Saudi beserta koalisinya justru menyerang Yaman dan tidak mengarahkan pesawat-pesawatnya untuk membebaskan Palestina?

Maka jawabannya adalah KISAH SHALAHUDDIN AL-AYYUBI berikut ini:

Ketika Shalahuddin al-Ayyubi memutuskan untuk menghancurkan kaum Syiah Rafidhah dan Daulah al-'Ubaidiyyah di Mesir, ada bertanya:
"Mengapa Anda memerangi kaum Syiah Rafidhah dan Daulah al-'Ubaidiyyah di Mesir, tapi membiarkan kaum Romawi Salibis (Kristen) menguasai Baitul Maqdis dan wilayah Palestina?"
Beliau menjawab: "Aku tidak akan memerangi kaum Salibis lalu membiarkan 'punggung'ku tersingkap di hadapan kaum Syiah!"

Maka beliau pun membasmi Daulah al-'Ubaidiyah di Mesir, Maghrib dan Syam. Setelah itu, beliau pun memimpin penaklukan kembali Baitul Maqdis dan membersihkan Masjid al-Aqsha dari kenistaan kaum Salibis.

(Lihat: al-Bidayah wa al-Nihayah oleh Ibnu Katsir, berdasarkan status Syekh Abdullah al-Ramadhany)

Kamis, 26 Maret 2015

MENIMBANG IDEOLOGI ISIS (ISLAMIC STATE OF IRAQ & SHAM)

MENIMBANG IDEOLOGI ISIS (ISLAMIC STATE OF IRAQ & SHAM)

PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam buat nabi kita yang mulia Muhammad Shalallahu’ alaihi was salam beserta keluarga dan para sahabat beliau. Berangkat dari rasa ingin saling menasehati sesama Muslim, kami meluangkan waktu untuk membahas salah satu topik aktual dewasa ini. Yaitu tentang Daulah Islamiyah Iraq dan Syam (داعش) yang lebih popular dengan ISIS (Islamis State of Iraq and Sham). Jika kita amati isu ISIS telah menjadi polemik baru di tengah-tengah masyarakat. Adanya pro dan kontra terhadap sesuatu yang baru muncul itu hal yang biasa. Akan tetapi suatu hal yang tidak bisa diterima dan dibenarkan sama sekali adalah memanfaatkan isu ISIS untuk menolak Islam dari jarak jauh dan dekat, lalu dikait-kaitkan dengan dakwah Ahlus Sunnah yang sedang bersemi di bumi nusantara ini. Dengan kata lain: memancing di air keruh…

Semoga tulisan sederhana ini dapat menggambarkan siapa sebanarnya ISIS? dan bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap ISIS? Selamat membaca dan semoga bermanfaat

SEJARAH KELAHIRAN ISIS

Gerakan ISIS bermula dari dibentuknya “Jamaah Tauhid dan Jihad” di Irak pada tahun 2004 oleh Abu Mush’ab Zarqawi. Kemudian pada waktu yang bersamaan Zarqawi menyatakan pembai’atannya terhadap pimpinan tertinggi al-Qaeda Usamah bin Ladin, dengan demikian ia langsung menjadi perwakilan resmi al-Qaeda di Irak. Ketika Amerika menjajah Irak pasukan Zarqawi sangat agresif dalam menentang penjajahan tersebut. Hal ini menyebabkan banyak pejuang Irak yang bergabung dengan pasukan Zarqawi. Meskipun secara idiologi mereka berbeda, akan tetapi kondisi perang menyebabkan mereka untuk bergabung dengan segala kekuatan dalam melawan penjajahan Amerika terhadap rakyat Irak. Dengan berlalunya waktu pengaruh Zarqawi semakin kuat di tengah-tengah para pejuang Irak dan jumlah pasukannya semakin bertambah dan membesar.

Pada tahun 2006 Zarqawi mengumumkan melalui sebuah rekaman tentang pembentukan “Majlis Syura Mujahidin” yang diketuai oleh Abdullah Rasyid al-Baghdadi. Tujuan dari pembentukan “Majlis Syura Mujahidin” ini adalah untuk mengantisipasi perpecahan dikemudian hari antara berbagai kelompok pejuang yang tersebar di berbagai pelosok daerah Irak. Namun sebulan setelah pernyataannya tersebut Zarqawi terbunuh, lalu posisinya digantikan oleh salah seorang tokoh al-Qaeda yang bernama Abu Hamzah al-Muhajir.

Kemudian pada akhir tahun 2006 sebagian besar pasukan “Majlis Syura Mujahidin” berhasil mengambil sebuah keputusan bersama untuk mendirikan Negara Islam Irak di bawah pimpinan Abu Umar al-Baghdadi.

Lalu pada tanggal 19 April 2010 pasukan Amerika mengadakan penyerangan udara besar-besaran terhadap salah satu daerah Irak yang bernama Tsar-tsar. Sehingga terjadilah pertempuran sengit antara pasukan pejuang Irak dengan penjajah Amerika. Satu minggu setelah pertempuran tersebut pasukan al-Qaeda memberikan pernyataan melalui internet bahwa Abu Umar al-Baghdadi (Pimpinan Negara Islam Irak) dan Abu Hamzah al-Muhajir (Pimpinan Majlis Syura Mujahidin) telah terbunuh dalam pertempuran tersebut di kediaman mereka. Sekitar sepuluh hari berselang dari meninggalnya kedua orang tersebut diadakanlah rapat Majlis Syura Negara Islam Irak. Dalam rapat Majlis Syura tersebut terpilihlah Abu Bakar al-Baghdadi sebagai pengganti Abu Umar al-Baghdadi menjadi Pimpinan Negara Islam Irak.

Abu Bakar al-Baghdadi, bernama asli Ibrahim bin ‘Awad bin Ibrahim al-Badri lahir disalah satu distrik di Irak yang bernama Samura’ pada tahun 1971. Ia adalah alumni S3 Universitas Islam Baghdad yang berprofesi sebagai pengajar/ dosen. Saat Amerika menjajah Irak Abu Bakar al-Baghdadi bangkit ikut berjuang bersama rakyat Irak di Samura’, seketika itu ia hanya memimpin sebuah pleton kecil. Kemudian ia berkerjasama dengan beberapa orang yang terindikasi memiliki ideologi teroris untuk membentuk sebuah pasukan perang tersendiri. Saat Zarqawi mengumumkan pembentukan “Majlis Syura Mujahidin” tahun 2006 ia termasuk diantara pimpinan pasukan mujahidin yang bergabung kedalamnya. Saat itu ia ditunjuk sebagai anggota Majlis Syura sekaligus menduduki posisi untuk menangani bagian pembentukan dan pengaturan urusan kesyariatan dalam “Majlis Syura Mujahidin”. Pada akhirnya ia menjadi orang kepercayaan Abu Umar al-Baghdadi dan ditunjuk sebagai penggantinya oleh Abu Umar al-Baghdadi sebagai pimpinan Negara Islam Irak setelahnya. Inilah sekilas kronologi terpilihnya Abu Bakar al-Baghdadi sebagai pimpinan Negara Islam Irak yang kemudian setelah meluaskan sayapnya ke Suriah dan mengklaim daerah-daerah yang sudah dibebaskan oleh para mujahidin lain dari kekuasan Bashar Asad dan menamakan kekuasaanya dengan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) pada tanggal 9 April 2013.

KRONOLOGI BERDIRINYA ISIS

Setelah terjadinya perperangan di Suriah pada tahun 2011 antara tentara Bashar Asad dengan pasukan penentang penguasa, sebagian kelompok-kelompok mujahidin di Irak ikut bergabung membantu pasukan penentang penguasa. Pada awal tahun 2014 pasukan penentang penguasa berhasil menguasai sebagian besar dari wilayah Suriah, terutama perbatasan antara Suriah dan Irak. Di antara pasukan yang membantu perjuangan Rakyat Suriah melawan pemerintahan Bashar Asad adalah pasukan Jabhah Nushrah yang merupakan perwakilan al-Qaeda untuk wilayah Syam di bawah pimpinan Abu Muhammad al-Faatih dan lebih populer dengan panggilan al-Jaulani. Diantara tokoh al-Qaeda yang loyal dengan pasukan Jabhah Nushrah adalah Aiman Zawahiri, Abu Qotadah al-Falistini dan Abu Muhammad al-Maqdisi.

Pada tanggal 9 April 2013 Abu Bakar al-Baghdadi mengumumkan melalui sebuah rekaman bahwa pasukan Jabhah Nushrah adalah bagian dari Negara Islam Irak. Dan ia mengganti penyebutan Jabhah Nushrah dengan nama Negara Islam Irak dan Syam (ISIS). Selang beberapa hari setelah itu Abu Muhammad al-Jaulani sebagai pimpinan Jabhah Nushrah menjawab pernyataan Abu Bakar al-Baghdadi dalam sebuah rekaman pula. Dalam rekaman tersebut ia menjelaskan tentang hubungan antara Negara Islam Irak dengan Jabhah Nushrah. Kemudian ia menyatakan penolakan keinginan Abu Bakar al-Baghdadi untuk menggabungkan Jabhah Nushrah kedalam Negara Islam Irak yang dipimpin al-Baghdadi. Setelah itu ia manyatakan pembai’atannya terhadap pasukan al-Qaeda di Afganistan. Selang beberapa hari setelah itu pimpinan al-Qaeda yang lainnya mendukung pernyataan penolakan terhadap pernyataan Abu Bakar al-Baghdadi. Secara tegas Aiman Zawahiri sekitar bulan November 2013 menyatakan bahwa ISIS bukan bagian dari al-Qaeda dan al-Qaeda berlepas diri dari ISIS yang kejam dan bengis terhadap sesama muslim. Bahkan para tokoh al-Qaeda di berbagai Negara menyebut bahwa ISIS adalah kaum Khawarij kotemporer karena sangat ekstrim terhadap orang Islam di luar kelompok mereka, dengan sebutan murtad. Mereka melakukan aksi-aksi kekerasan yang sangat naif terhadap rakyat sipil dan pasukan mujahidin lain, baik di Irak maupun di Suriah.

Pada awalnya Abu Bakar al-Baghdadi hanya ditugaskan untuk pembebasan Irak, adapun Suriah sudah dibawah kendali pimpinan al-Qaeda Syam. Alasan lain adalah akan terjadinya kekacauan antara sesama kelompok mujahidin yang sedang berjihad dilapangan tempur bila ada pengklaiman pendirian negara, karena hal ini perlu dibicarakan dengan seluruh elemen yang berjuang dalam pembebasan Suriah. Sejaki saat itu mulailah terjadi gesekan antara ISIS dengan pasukan-pasukan lain yang sedang berjuang melawan pasukan Bashar Asad di Suriah. Hari demi hari ISIS semakin menunjukkan kebiadabannya baik terhadap mujahidin lain yang diluar pasukan mereka maupun terhadap rakyat sipil yang tidak berdosa. Mereka meledakkan pos-pos mujahidin dan tempat-tempat pengungsian dengan bom mobil.

Bahkan mereka menghadang konvoi bantuan makanan dan kesehatan di tengah perjalanan yang disalurkan oleh relawan kemanusian dari berbagai Negara Muslim di dunia untuk rakyat Suriah yang sedang berada di pengungsian. Lalu bantuan bahan makanan dan kesehatan tersebut mereka rampas, bahkan sebahagian dari tim relawan yang membawa bantuan tersebut ada yang mereka siksa atau mereka bunuh.

Pada tanggal 29 Juni 2014, juru bicara ISIS memaklumatkan Abu Bakar al-Baghdadi sebagai Khalifah Muslimin dan penyebutan Negara dirubah dari ISIS menjadi Negara Islam. Dari sinilah ISIS melihat setiap orang yang enggan untuk membai’at Abu Bakar al-Baghdadi adalah kafir karena telah menentang penegakan Negara Islam dan penerapan syariat Islam. Dan mereka melihat memerangi dan membunuh kaum murtad didahulukan dari memerangi orang kafir asli. Sehingga tidak sedikit kaum muslimin yang mereka bunuh, baik dari kalangan mujahidin, maupun rakyat sipil dari wanita dan anak-anak dengan cara yang amat keji dan kejam. Perbuatan biadab tersebut mereka sebarkan melalui internet. Tujuan mereka memperlihatkan kekejian tersebut adalah sebagai ancaman dan untuk membuat ketakutan bagi orang yang enggan menerima keputusan mereka. Semenjak diprolamirkan berdirinya ISIS, semenjak itu pula terjadi pembunuhan dan pembantaian terhadap sesama muslim dan terhadap jiwa-jiwa tidak berdosa baik di Irak maupun di Suriah.

IDEOLOGI ISIS DALAM TIMBANGAN

Diantara IDEOLOGI ISIS yang perlu ditimbang adalah:

1. Pertama : Mengklaim Bahwa Pimpinan Mereka Adalah Sebagai Khalifah Yang Wajib Dibaiat Dan Ditaati Oleh Setiap Muslim.

Semenjak kemunculan Khawarij dalam sejarah Islam mereka selalu mengklaim bahwa pemimpin mereka adalah pemimpin yang sah dan mutlak untuk ditaati. Karena menurut mereka seorang pemimpin harus terlepas dari dosa-dosa besar. Bila seorang pemimpin terjatuh kedalam dosa besar maka menurut mereka pemimpin tersebut wajib diganti. Bahkan harus dibunuh karena ia telah kafir dengan dosa tersebut, kecuali taubat dan menyatakan keislamannya kembali. Oleh sebab itu sejak dulu negara Khawarij tidak pernah stabil dan bertahan lama. Selama pemimpin mereka manusia, maka ia sangat berpeluang untuk jatuh kedalam dosa. Sangat sulit dan tidak akan pernah ada pemimpin yang bebas dari dosa.

Klaim seorang penguasa bahwa dirinya sebagai Khalifah umat Islam sudah sering terjadi dalam sepanjang sejarah umat Islam setelah umat Islam mengalami kemunduran dalam kekuatan politik sejak masa Dinasti Umawiyah, Abassiyah sampai Dinasti Utsmaniyah. Bahkan tidak sedikit pula diantara mereka yang mengaku sebagai Imam Mahdi akhir zaman. Terakhir peristiwa klaim tesebut dilakukan oleh kelompok Juhaiman di kota Makkah pada tahun 1979[1]. Peristiwa-peristiwa tersebut telah memakan korban yang cukup banyak dari kalangan kaum muslimin.

Hal yang melatarbelakangi peristiwa-peristiwa serupa biasanya dimulai dari proses pembelajaran agama yang jauh dari bimbingan para Ulama. Terutama dalam memahami dalil-dalil yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di akhir zaman. Kemudian ditambah lagi oleh kondisi umat yang memprihatinkan, membuat sebagian orang ingin menjadi pahlawan di siang bolong. Dan sebab yang lebih dominan adalah kecintaan terhadap kekuasaan. Sebagian orang ada yang menjadikan dalil agama demi mencapai tujuan hawa nafsunya. Maka Abu Bakar al-Bagdadi bukanlah orang pertama yang mengaku dirinya sebagai Khalifah dalam sejarah Islam. Bahkan di antara mereka yang mengaku sebagai Khalifah terdapat orang jauh lebih baik kepribadiannya dari Abu Bakar al-Baghdadi. Akan tetapi pengakuan mereka tersebut berlaku pada wilayah yang mereka kuasai semata. Disebut khalifah karena ia pengganti penguasa sebelumnya, bukan dalam artian khalifah sebagai penguasa umat Islam di seluruh penjuru dunia[2].

Maka khalifah dalam pengertian tersebut, bisa disamakan pada setiap pemimpin muslim yang memimpin kaum Muslimin di wilayah negara manapun.

Syaikh Muhamad Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan bahwa pada abad ke 5H banyak sekali penguasa yang menyebut dirinya khalifah. Di Andalus ada lima orang, masing-masing menyebut dirinya khalifah dan termasuk pula penguasa Mesir dan Dinasti Abassiyah di Baghdad, sampai yang mengaku khalifah di berbagai penjuru dunia dari kalangan Alawiyah dan Khawarij. Hal inilah yang dimaksud oleh sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam: “Akan terdapat khalifah-khalifah yang banyak jumlahnya[3].[HR. Muslim].

Hal yang senada juga dijelaskan Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya “Syarah Shahih Muslim”[4].

Adapun Khilafah dalam artian melindungi segenap umat Islam di seluruh pelosok sedunia, telah dijelaskan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi was salam bahwa pemerintahan yang berbentuk kekhalifahan seperti ini hanya berlangsung selama 30 tahun setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Kemudian setelah itu bentuk pemerintahan akan berubah menjadi kerajaan.

Rasulullah Shalallahu’alaihi was salam bersabda:

الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك

“Kekhilafahan di tengah umatku selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu berupa kerajaan”[5].

2. Kedua: Mengkafirkan Setiap Muslim Yang Tidak Mau Membai’at Khalifah Mereka.

Salah satu dari kebiasaan orang-orang Khawarij sejak dulu kala adalah kegemaran mereka mengkafirkan orang Muslim yang tidak mau menerima pandangan dan pendapat mereka. Jika duhulu mereka berani mengkafirkan seperti Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu sahabat yang mulia dan dijamin masuk surga oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam, bagaimana dengan pemimpin setelahnya atau pemimpin-pemimpin yang ada saat ini? Jika zaman sekarang mereka berani mengkafirkan Syaikh Bin Baz rahimahullah bagaimana dengan ulama yang lainnya?

Berdasarkan berbagai informasi yang kami peroleh dari berbagai sumber, pasukan ISIS sangat mudah mengobral vonis kafir terhadap Muslim yang di luar kelompok mereka.

Rasul kita Muhammad Shalallahu’alaihi wassalam telah memperingatkan umatnya dari jauh-jauh hari agar mereka tidak meremehkan soal vonis murtad atau kafir antara sesama mereka. Sebab, bila seorang Muslim dituduh kafir oleh sorang Muslim lainnya, maka ucapan tersebut melekat pada salah seorang dari mereka. Bila yang dituduh tidak demikian adanya, maka ucapan tersebut kembali kepada orang yang menuduh kafir.

إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya maka sungguh salah seorang dari keduanya telah terkena kalimat tersebut”[6] .

Dalam riwayat lain berbunyi:

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ. فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Siapaun yang berkata kepada saudaranya: Hai kafir! maka sungguh salah seorang dari keduanya telah terkena kalimat tersebut, jika adanya seperti ia ucapkan, dan jika tidak maka ucapan tersebut kembali kepada yang mengucapkannya”[7] .

3. Ketiga: Menghalalkan Darah Setiap Orang Yang Tidak Mau Membai’at Khilafah Mereka.

Diantara kesesatan sekte Khawarij sejak dulu kala dengan menghalalkan darah orang yang di luar kelompok mereka. Bahkan sesama kelompok Khawarij sekalipun dengan alasan yang sangat sepele mereka dengan mudah melakukan pembunuhan. Meskipun orang yang akan mereka eksekusi nyata-nyata mengucapakan dua kalimat syahadat di hadapan mereka secara jelas, akan tetapi mereka tetap menyiksa dan membunuhnya dengan cara sadis dan kejam. Bahkan mereka meledakkan masjid yang dipenuhi oleh jamaah menunaikan sholat jum’at.

Dalam doktrin ISIS memerangi Muslim yang di luar kelompok mereka yang mereka sebut sebagai orang yang murtad lebih utama untuk dibunuh dan diperangi sebelum memerangi orang-orang kafir asli.

Lihatlah bagaimana yang dilakukan oleh pendahulu mereka terhadap seorang sahabat nabi yang bernama Abdullah bin Khabbaab Radhiyallahu anhu, mereka membunuhnya dan membelah perut isterinya sedang hamil di hadapannya [8].

Atas dasar informasi yang kami dapatkan dari orang yang langsung menyaksikan kekejaman ISIS, sungguh perbuatan mereka jauh lebih keji, lebih kejam, lebih sadis dan lebih hina dari Khawarij-Khawarij yang terdahulu.

Bahkan mereka melakukan pembunuhan secara membabi buta, tanpa memperdulikan orang baik atau bukan, orang yang diberi jaminan keamanan atau bukan.

Rasulullah Shalallahu’alaihi was salam bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا وَلاَ يَتَحَاشَ مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلاَ يَفِي لِذِي عَهْدٍ عَهْدَهُ فَلَيْسَ مِنِّى وَلَسْتُ مِنْهُ.

“Barangsiapa yang meninggalkan ketaatan kepada pemimpin dan keluar dari jama’ah (persatuan)! Lalu ia mati, maka ia mati dalam jahiliyah. Barangsiapa yang berperang di bawah bendera kesesatan, ia marah demi kelompok tertentu atau karena mengajak kepada kelompok tertentu, atau karena mendukungnya, lalu ia terbunuh, maka ia terbunuh dalam kajahiliyahan. Barangsiapa yang memberontak atas umatku, ia membunuh orang baik maupun yang jahat, dan tidak memperdulikan orang beriman sekalipun, demikian pula tidak menepati janji bagi orang yang diberi perjanjian, maka ia tidak termasuk bagian dariku dan aku tidak termasuk bagian darinya”.[HR.Muslim][9]

Imam al-Bukhari rahimahullah berkata : “Oleh sebab itu Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma memandang mereka adalah seburuk-buruk makhluk, karena mereka mengambil ayat-ayat yang turun tentang orang kafir lalu mereka menjadikannya untuk orang-orang mukmin”[10].

Rasulullah Shalallahu’alaihi was salam senantiasa memberikan nasehat kepada pasukan yang beliau utus untuk sebuah perperangan agar tidak membunuh anak-anak:

اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلاَ تَغُلُّوا وَلاَ تَغْدِرُوا وَلاَ تَمْثُلُوا وَلاَ تَقْتُلُوا وَلِيدًا

“Berperanglah di jalan Allah dengan menyebut nama Allah! Perangi orang yang kafir kepada Allah! Jangan berbuat curang! Jangan mengambil harta rampasan perang sebelum pembagian! Jangan lakukan penyiksaan! Dan jangan kalian bunuh anak-anak!”[11]

Dalam sebuah perperangan Rasulullah Shalallahu’alaihi was salam mendapatkan kabar ada anak-anak kecil yang terbunuh, lalu beliau Shalallahu’alaihi was salam bersabda:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ جَاوَزَهُمُ الْقَتْلُ الْيَوْمَ حَتَّى قَتَلُوا الذُّرِّيَّةَ]، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا هُمْ أَوْلاَدُ الْمُشْرِكِينَ، فَقَالَ: “أَلاَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَبْنَاءُ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ قَالَ: “أَلاَ لاَ تَقْتُلُوا ذُرِّيَّةً أَلاَ لاَ تَقْتُلُوا ذُرِّيَّةً .

“Mengapa ada orang-orang pada hari ini yang berbuat melampaui batas dalam membunuh sehingga ada yang membunuh anak-anak. Lalu seseorang berkata: “Ya Rasulullah! Mereka tersebut anak-anak orang musyrikin”. Beliau menjawab: “Bukahkah orang yang terbaik diantara kalian hari ini adalah anak-anak orang musyrikin?” Kemudian beliau bersbada: “Ketahuilah, Jangan kalian membunuh anak-anak! Ketahuilah jangan kalian membunuh anak-anak”[12].

Dalam aksinya orang-orang ISIS tidak segan-segan meledakan masjid yang dipenuhi oleh jama’ah sedang menunaikan shalat Jum’at. Rasulullah Shalallahu’alaihi was salam melarang melakukan penyerangan terhadap perkampungan yang ada masjid di dalamnya atau terdengar suara azan dari kampung tersebut.

إِذَا رَأَيْتُمْ مَسْجِدًا أَوْ سَمِعْتُمْ مُؤَذِّنًا فَلاَ تَقْتُلُوا أَحَدًا

“Apabila kalian melihat masjid atau mendengar suara Muadzin maka jangan kalian membunuh seorangpun”[13].

Kalau kita perhatikan di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu ada sebagian kaum muslimin yang tidak mau membaiat beliau. Akan tetapi beliau tidak pernah mengkafirkan apalagi membunuh mereka. Bahkan orang-orang Khawarij yang mengkafirkan dan menentang beliau tidak beliau kafirkan. Meskipun beliau pada akhirnya meninggal karena dibunuh oleh seorang Khawarij yang bernama Ibnu Muljam.

Jika Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu tidak mau melakukan pemaksaan terhadap orang yang tidak mau membaiat beliau. Lalu apakah Abu Bakar al-Baghdadi layak untuk memaksa agar orang harus membaiatnya? Tidakkah ia merasa malu terhadap dirinya sendiri.

4. Keempat: Mewajibkan Setiap Muslim Untuk Membatalkan Baiat Mereka Kepada Pemimpin Negara Mereka Masing-Masing.

Hal ini sangat berpontesi menjadikan kaum muslimin untuk dicurigai dan dimata-matai oleh pemerintah mereka, bahkan menyebabkan sebagian mereka ditangkap dan dihukum. Namun apakah mereka mendapat pembelaan dari orang-orang ISIS di sana? Apakah ISIS tahu tentang keadaan mereka dan dapat berbuat sesuatu untuk mereka?

Bahkan yang lebih fatal lagi dari itu semua, hal ini akan memancing terjadinya pemberontakan dan pembunuhan di banyak negara kaum Muslimin. Tindakan mereka jelas-jelas sangat menentang dalil-dalil agama. Rasulullah Shalallahu ’alaihi was salam telah memperingatkan umat terhadap kondisi ini dalam sabdanya:

وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

“Akan muncul khalifah-khalifah yang banyak jumlahnya”, Para Sahabat bertanya : Apa perintahmu untuk kami? Jawab Rasulullah Shalallahu’alaihi was salam : “Penuhi baiat yang pertama terlebih dahulu dan berikan hak mereka, sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka terhadap apa yang Allah tugaskan kepada mereka”[14].

Hadits ini menegaskan kepada kaum muslimin dalam kondisi banyaknya orang mengaku dirinya sebagai khalifah untuk tetap taat dan setia terhadap pemimpin mereka yang pertama.

Rasulullah Shalallahu’alaihi was salam telah memperingatkan umat Islam tentang bagaimana menyikapi orang yang memecah bela persatuan kaum Muslimin. ‘Arfajah berkata : “Aku mendengar Rasulullah Shalallahu’alaihi was salam bersabda:

إِنَّهُ سَتَكُونُ هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الأُمَّةِ وَهْىَ جَمِيعٌ فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ

“Sesungguhnya akan terjadi kekacauan dan kekacauan, Barangsiapa yang ingin memecah belah persatuan umat ini sedangkan mereka bersatu (dibawah pemimpin), maka hendaklah kalian penggal leher orang tersebut dengan pedang siapapun orangnya”[15].

Hadits ini memberikan ketegasan untuk menjaga persatuan di bawah penguasa yang resmi. Dan kita wajib melakukan penolakan terhadap setiap orang yang berusaha memecah bela antara kaum muslimin dengan pemimpin mereka.

5. Kelima: Kebodohan Mereka Tentang Ajaran Agama Terutama Perkara Yang Berkaitan Jihad Dan Khilafah.

Sifat-sifat mereka persis sama dengan sifat orang-orang Khawarij yang yang telah digambarkan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi was salam dalam Sunnahnya. Oleh sebab itu tidak ada perbedaan pendapat di tengah para ulama Ahlus Sunnah untuk menyebut mereka sebagai Khawarij kontemporer. Bahkan tokoh-tokoh dari kalangan kelompok al-Qaeda sendiri menyebut ISIS sebagai kelompok Khawarij yang paling ekstrim dalam sejarah.

Berbagai ulah biadab dilakukan oleh ISIS terhadap kaum Muslimin di luar kelompok mereka. Seperti, penyembelihan dan pembunuhan yang mereka lakukan terhadap orang-orang Muslim adalah bukti kejahilan (kebodohan) mereka dengan ajaran agama yang mulia ini. Terlebih-lebih lagi bila kita mendengarkan berbagai alasan mereka dalam melakukan tindakan biadap tersebut. mereka benar-benar persis dengan sifat khawarij yang terdapat dalam hadits-hadits berikut ini.

Yusair bin Amru bertanya kepada Sahal bin Hanif : “Apakah kamu pernah mendengar Nabi Shalallahu’alaihi was salam berbicara tentang Khawarij?” Sahal menjawab, “ Aku mendengar beliau bersabda sambil menunjuk dengan tangannya ke arah Irak. “Akan keluar dari daerah sana sekelompok kaum yang gemar membaca Al qur’an akan tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama Islam seperti keluarnya anak panah dari busurnya”[16] .

Para ulama menerangkan maksud dari kata-kata “gemar membaca al-Qur’an akan tetapi tidak melewati kerongkongan mereka”, mereka tidak memahami tentang apa yang mereka baca dan bacaan tersebut tidak memperbaiki keyakinan mereka, karena isi bacaan mereka tersebut tidak masuk kedalam hati mereka dalam bentuk ilmu. Tentu hal ini yang menyebabkan mereka bodoh tentang ajaran agama. Bahkan digambarkan kecepatan mereka keluar dari agama bagaikan secepat anak panah dari busurnya.

Dalam hadits yang lain diperjelas lagi tentang gambaran kebodohan mereka. Berkata Ali bin AbiThalib Radhiyallahu ‘anhu, aku mendengar Rasulullah Shalallahu’alaihi was salam bersabda:

سَيَخْرُجُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

"Akan keluar di akhir zaman sekelompok orang, berusia muda lagi berpikiran dungu. Mereka mengatakan sebaik-baik ucapan manusia. Mereka gemar membaca al-Qur’an, akan tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama Islam seperti keluarnya anak panah dari busurnya”[17].

Dalam melakukan berbagai aksinya, orang-orang Khawarij menggunakan simbol-simbol agama dan merasa diri mereka membela agama Allah. Akan tetapi, tanpa mereka sadari, pada hakikatnya mereka merobohkan agama Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi was salam tentang mereka:

سَيَكُونُ فِى أُمَّتِى اخْتِلاَفٌ وَفُرْقَةٌ قَوْمٌ يُحْسِنُونَ الْقِيلَ وَيُسِيئُونَ الْفِعْلَ -إلى أن قال- يَدْعُونَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ وَلَيْسُوا مِنْهُ فِى شَىْءٍ مَنْ قَاتَلَهُمْ كَانَ أَوْلَى بِاللَّهِ مِنْهُمْ.

“Akan terjadi di tengah-tengah umatku perselisihan dan perpecahan, sekelompok kaum yang indah dalam ungkapan namun buruk dalam perbuatan”. (sampai pada ungkapan beliau): “Mereka mengajak kepada kitab Allah, tetapi mereka tidak termasuk kedalamnya sedikitpun. Orang yang menentang mereka lebih baik di sisi Allah daripada mereka”[18] .

Dalam lafazh yang lain berbunyi:

يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسِبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِمْ.

“Mereka membaca al-Qur’an, hal itu mereka kira (hujjah) bagi mereka namun sesungguhnya hal itu (hujjah) yang menentang mereka”[19] .

PENUTUP
Demikian sekilas tentang hakikat negara ISIS. Berikuti ini berberapa sumber yang bisa dirujuk dalam pembahasan ini:
• http://www.alalam.ir/news/1552479
• http://www.ahraralsham.com/?p=2941
• http://www.dawaalhag.com/?p=8114
• http://justpaste.it/dls1
• http://justpaste.it/dlai
• http://halabnews.com/news/36562
• http://halabnews.com/news/36822
• http://halabnews.com/news/39875
• http://halabnews.com/news/42816
• http://halabnews.com/news/44617

Oleh: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra. MA

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVIII/1435/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Kisahmuslim.com
[2]. Lihat Tuhfatul Ahwadzi 6/396
[3]. Ibid 6/393
[4]. 12/202
[5]. Lihat Sunan Tirmidzi 4/503 (2226) dan dishahihkan oleh Al-Albani
[6]. Lihat Shahih al-Bukhari 2/264 (5753) dan Shahih Muslim 1/56 (224)
[7]. Lihat Shahih Muslim 1/56 (225)
[8]. Lihat Usudul Ghaban 2/101
[9]. Lihat Shahih Muslim 6/20 (4892)
[10]. Lihat Shahih al-Bukhari 6/2539
[11]. Lihat Shahih Muslim 5/139 (4619)
[12]. Lihat Musnad Ahmad 3/435 (15627) dan as-Silsilatu ash-Shahihah 1/759 (402)
[13]. Lihat Sunan Abu Dawud 2/374 (2637)
[14]. Lihat Shahih al-Bukhari 3/1273 (3268) dan Shahih Muslim 6/17 (4879)
[15]. HR Muslim 6/22 (4902)
[16]. HR al-Bukhari 6/2541 (6535)
[17]. HR al-Bukhari 3/1321 (3415) dan Muslim 3/113 (2511)
[18]. HR Abu Dawud 4/387 (4767) dishahihkan oleh Al-Albani
[19]. HR Muslim 3/115

Selasa, 24 Maret 2015

Sepenggal Kisah Nyata

SEBUAH RENUNGAN DARI SEPENGGAL KISAH NYATA

Seorang preman mendapatkan hidayah mengenal manhaj Salaf. Dulu, ia dibenci masyarakat karena suka mengganggu, gemar mabuk, berjudi, mengganggu orang lain dan seabrek perilaku negatif lain yang merugikan masyarakat. Namun tidak ada seorang pun yang berani menegurnya, karena takut mendapatkan bogem mentah darinya.

Setelah mengenal dakwah Ahlu Sunnah ini, ia berubah menjadi orang yang baik (shalih) dan alim, hanya saja masyarakat tetap tidak menyenanginya, tetap membencinya, padahal ia sudah meninggalkan keburukanya dulu. Kalau dulu masyarakat tidak berani menegurnya, sekarang malah berani memarahi, bahkan menyidangnya pula. Apa pasalnya?

Ternyata kebencian tersebut dipicu dari sikap kaku dan keras orang tersebut, juga kekurangpiawaiannya dalam membawa diri di masyarakat.Dulu dibenci karena 'kepremanannya', sekarang dibenci karena 'keshalihan'nya…

Haruskah orang yang mengikuti manhaj Salaf menghadapi kebencian dari masyarakat? Apakah itu merupakan sebuah resiko yang tidak terelakkan? Adakah kiat khusus untuk menghindari hal tersebut atau paling tidak meminimalisirnya?

Benar, seseorang yang teguh memegang kebenaran, ia akan menghadapi tantangan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Ulama Salaf saja sudah terlebih dulu menghadapi tantangan. Para pengusung kebenaran, apalagi di akhir zaman ini, akan tetap dihadang oleh tantangan dimana kejahatan lebih mendominasi dunia dibandingkan kebaikan.

Namun, yang perlu menjadi catatan di sini, apakah kebencian yang muncul di banyak masyarakat kepada para pengikut manhaj Salaf, murni diakibatkan keteguhan mereka dalam berpegang teguh terhadap prinsip, atau disebabkan factor lain, seperti tidak bisa membawa diri dengan baik di tengah masyarakat, kurang cakap dalam dalam menjelaskan prinsip dan kurang pandai dalam menetralisir pandangan miring masyarakat terhadap prinsip-prinsip Ahlus Sunnah (dakwah Salaf) dengan penerapan akhlak mulia? Atau mungkin juga karena enggan melakukan sesuatu yang dikira terlarang, padahal sebenarnya boleh atau justru disyariatkan?

Berdasarkan pengamatan terbatas penulis, juga kisah-kisah nyata yang masuk, nampaknya faktor terakhir lebih dominant dalam melahirkan antipati masyarakat.

Dalam makalah sederhana ini, dengan memohon taufik dari Allâh semata, penulis berusaha memaparkan peran besar akhlak mulia dalam meredam kebencian masyarakat terhadap pengusung kebenaran, bahkan dalam menarik mereka untuk mengikuti kebenaran tersebut.

PERINTAH UNTUK BERAKHLAK MULIA

Sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tentunya Islam tidak melewatkan pembahasan akhlak dalam ajarannya. Begitu banyak dalil dalam al-Qur'ân maupun Sunnah yang memerintahkan kita untuk berakhlak mulia. Di antaranya:

Firman Allâh Azza wa Jalla tatkala memuji Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur [al-Qalam/ : 4]

Juga sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Pergaulilah manusia dengan akhlak mulia [HR. at-Tirmidzi no. 1987 dari Abu Dzar, dan beliau menilai hadits ini hasan shahih]

APA ITU AKHLAK MULIA?

Banyak definisi yang disampaikan Ulama. Definisi yang cukup mewakili adalah:

بَذْلُ النَّدَى وَكَفُّ الْأَذَى وَاحْتِمَالُ الْأَذَى

Akhlak mulia adalah berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya dan menahan diri ketika disakiti[1]

Dari definisi di atas kita bisa membagi akhlak mulia menjadi tiga macam:

1. Melakukan kebaikan kepada orang lain. Contohnya: berkata jujur, membantu orang lain, bermuka manis dan lain sebagainya.

2. Menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain. Contohnya: tidak mencela, tidak berkhianat, tidak berdusta dan yang semisal.

3. Menahan diri tatkala disakiti. Contohnya: tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa.

APA MAKSUD DAKWAH DENGAN AKHLAK?

Sebagian kalangan masih menganggap dakwah hanya berbentuk penyampaian materi secara lisan. Padahal sebenarnya dakwah meliputi aspek lainnya juga; semisal praktek nyata, memberi contoh amalan, dan akhlak mulia, atau yang lazim dikenal dengan dakwah bil hâl. Bahkan justru yang terakhir inilah yang lebih berat dibanding dakwah dengan lisan dan lebih mengena sasaran.[2]

Banyak orang yang pintar berbicara dan menyampaikan teori dengan lancar, namun hanya sedikit yang menjalankan ucapannya dalam praktek nyata. Di sinilah terlihat urgensi adanya qudwah hasanah (potret keteladanan yang baik) di tengah masyarakat, yang tugasnya adalah menerjemahkan teori-teori kebaikan dalam amaliah nyata, sehingga teori tersebut tidak selalu hanya terlukis dalam lembaran-lembaran kertas. [3]

Jadi, dakwah dengan akhlak mulia maksudnya mempraktekkan akhlak mulia sebagai sarana untuk mendakwahi umat manusia kepada kebenaran.

AKHLAK MULIA DAN DAMPAK POSITIFNYA DALAM DAKWAH

Di atas telah dijelaskan bahwa definisi akhlak mulia ialah berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya serta menahan diri ketika disakiti. Berdasarkan definisi ini berarti cakupan akhlak mulia sangatlah luas, dan tidak mungkin dipaparkan satu persatu dalam makalah singkat ini. Karena itulah penulis hanya akan membawakan beberapa contoh saja. Semoga yang sedikit ini bisa mendatangkan berkah dan para pembaca dapat menganalogikannya kepada contoh-contoh yang lain.

1. Gemar Membantu Orang Lain.

Banyak nash dalam al-Qur'ân maupun Sunnah yang memotivasi kita untuk mempraktekkan karakter mulia ini. Di antaranya, sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ؛ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Allâh akan membantu seorang hamba jika ia membantu saudaranya [HR. Muslim no. 6793dari Abu Hurairah]

Sifat gemar membantu orang lain akan membuahkan dampak positif yang luar biasa bagi keberhasilan dakwah pemilik karakter tersebut. Menarik untuk kita cermati ungkapan Ummul Mukminin Khadîjah Radhiyallahu anhuma tatkala beliau menghibur suaminya; Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketakutan dan merasa khawatir tatkala wahyu turun pertama kali pada beliau. Khadîjah Radhiyallahu anhuma berkata:

كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا؛ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ

Demi Allâh tidak mungkin! Allâh tidak akan pernah menghinakanmu. Sebab engkau selalu bersilaturrahmi, meringankan beban orang lain, memberi orang lain sesuatu yang tidak mereka dapatkan kecuali pada dirimu, gemar menjamu tamu dan engkau membantu orang lain dalam musibah-musibah [HR. al-Bukhâri no. 3 dan Muslim no. 401]

Maksud perkataan Khadîjah Radhiyallahu anhuma di atas, sesungguhnya engkau Muhammad, tidak akan ditimpa sesuatu yang tidak kau sukai, karena Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan dalam dirimu berbagai akhlak mulia dan karakter utama. Lalu Khadîjah Radhiyallahu anhuma menyebutkan berbagai contohnya,[4] di antaranya gemar membantu orang lain.

Karakter ini sangat membantu keberhasilan dakwah. Tatkala seseorang dalam keadaan sangat membutuhkan bantuan, kemudian ada orang yang membantunya, jelas susah baginya melupakan kebaikan orang tersebut. Dia akan terus mengingat jasa baik itu, sehingga manakala kita menyampaikan sesuatu padanya, minimal dia akan lebih terbuka untuk mendengar ucapan kita, bahkan sangat mungkin dia akan menerima masukan dan nasehat kita. Sebagai salah satu bentuk 'berbalas budi' atas kebaikan yang kita sodorkan kepadanya.

Karena itu, seyogyanya kita berusaha menerapkan akhlak mulia ini dalam kehidupan sehari-hari. Tatkala ada tetangga yang meninggal dunia, kitalah yang pertama kali memberikan sumbangan belasungkawa kepada keluarganya. Manakala ada yang dioperasi karena sakit; kita turut membantu secara materi semampunya. Saat ada yang membutuhkan bantuan keuangan, kita berusaha memberikan hutangan pada orang tersebut. Begitu seterusnya.

Jika hal ini rajin diterapkan, lambat laun akan terbangun jembatan yang mengantarkan kita untuk masuk ke dalam hati orang-orang yang pernah kita bantu, sehingga dakwah salafiyah yang kita sampaikan lebih mudah untuk mereka terima.

2. Jujur Dalam Bertutur Kata

Sifat jujur merupakan salah satu karakter mulia yang amat dianjurkan dalam Islam. Allâh Azza wa Jalla berfiman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allâh dan ucapkanlah perkataan yang benar [al-Ahzâb/33:70]

Kejujuran bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari membuahkan kepercayaan masyarakat terhadap apa yang kita sampaikan, bukan hanya dalam perkara duniawi, namun juga dalam perkara agama.

Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhu bercerita, bahwa tatkala turun firman Allâh Azza wa Jalla ,

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

Berilah peringatan (wahai Muhammad) kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. [asy-Syu'ara/26:214]

Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam keluar dari rumahnya lalu menaiki bukit Shafa dan berteriak memanggil, "Wahai kaumku kemarilah!". Orang-orang Quraisy berkata, "Siapakah yang memanggil itu?". "Muhammad", jawab mereka. Mereka pun berduyun-duyun menuju bukit Shafa.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Wahai bani Fulan, bani Fulan, bani Fulan, bani Abdi Manaf dan bani Abdil Mutthalib. Andaikan aku kabarkan bahwa dari kaki bukit ini akan keluar seekor kuda, apakah kalian mempercayaiku?". Mereka menjawab, "Kami tidak pernah mendapatkanmu berdusta!". "Sesungguhnya aku mengingatkan kalian akan datangnya azab yang sangat pedih!" , lanjut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [HR. al-Bukhâri no. 4971 dan Muslim no. 507 dengan redaksi Muslim]

Lihatlah bagaimana kejujuran Rasûlullâh dalam bertutur kata menjadi dalil dan bukti akan kebenaran risalah yang disampaikannya.[5]

Seorang Muslim yang telah dikenal di masyarakatnya jujur dalam bertutur kata, berhati-hati dalam berbicara dan menyampaikan berita, akan disegani. Ucapannya akan didengar. Dan ini modal yang amat berharga untuk berdakwah. Didengarkannya apa yang kita sampaikan itu sudah merupakan suatu langkah awal yang menyiratkan keberhasilan dakwah. Andaikan dari awal saja, masyarakat sudah enggan mendengar apa yang kita sampaikan, karena kita telah dikenal, misalnya mudah menyebarkan isu yang belum jelas kebenarannya, tentu jalan dakwah berikutnya akan semakin terjal.

3. Bertindak Ramah Terhadap Orang Miskin Dan Kaum Lemah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ؛ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ

Tolonglah aku untuk mencari (dan membantu) orang-orang lemah. Sesungguhnya kalian dikaruniai rezeki dan meraih kemenangan lantaran adanya orang-orang miskin di antara kalian". [HR. Abu Dâwud no. 2594, dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh an-Nawawi] [6]

Masih banyak hadits lain, juga ayat al-Qur'an yang memerintahkan kita untuk berbuat baik, berlaku ramah dan membantu orang-orang lemah juga miskin. Bahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditegur langsung Allâh Azza wa Jalla tatkala suatu hari beliau bermuka masam dan berpaling dari seorang lemah yang datang kepada beliau; karena saat itu beliau sedang sibuk mendakwahi para pembesar Quraisy. Kejadian itu Allâh Azza wa Jalla abadikan dalam surat 'Abasa. Setelah itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam amat memuliakan orang lemah tadi dan bahkan menunjuknya sebagai salah satu muadzin di kota Madinah. Dialah 'Abdullâh Ibn Ummi Maktûm Radhiyallahu anhu .

Bersikap ramah dan perhatian terhadap orang-orang lemah menguntungkan dakwah dari dua arah; sisi orang-orang lemah tersebut, juga sisi masyarakat yang menyaksikan sikap mulia yang kita praktekkan tersebut.

Adapun sisi pertama, keuntungannya: orang-orang lemah tersebut akan mudah untuk didakwahi dan diajak kepada kebenaran; apalagi pada umumnya mereka memang lebih mudah untuk didakwahi. Perlu dicatat di sini, apa yang disebutkan para ahli sejarah tentang salah satu isi dialog antara Abu Sufyan dan kaisar Romawi; Heraklius. Tatkala Abu Sufyan ditanya tentang siapakah pengikut Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Dia menjawab, "Orang-orang lemah dan kaum miskin". Heraklius pun menimpali, "Begitulah kondisi pengikut para nabi di setiap masa".[7]

Ketika menafsirkan Surat asy-Syu'ârâ ayat ke-111, Imam Abu Hayyân rahimahullah menjelaskan bahwa orang-orang lemah lebih banyak untuk menerima dakwah dibanding orang-orang yang terpandang. Sebab, otak mereka tidak dipenuhi dengan keindahan-keindahan duniawi, sehingga mereka lebih mudah mengetahui al-haq dan menerimanya dibanding orang-orang terpandang.[8]

Sedangkan keuntungan kedua, dipandang dari sisi ketertarikan orang-orang yang menyaksikan praktek akhlak mulia tersebut, termasuk orang-orang yang memiliki status sosial tinggi. Masyarakat cenderung lebih respek kepada ulama atau da'i yang rendah hati serta akrab dengan orang-orang miskin dan lemah dibandingkan kepada penceramah yang hanya berada dalam lingkaran kehidupan orang-orang kaya dan pemilik kekuasaan. Sebab masyarakat menganggap da'i tersebut cenderung lebih tulus. Adapun penceramah (Ulama) yang hanya beramah-tamah dengan para pejabat dan konglomerat; masyarakat akan bertanya-tanya tentang motif kedekatan tersebut? Apakah karena mengharapkan harta duniawi atau apa?

Keterangan ini sama sekali bukan untuk mengecilkan urgensi mendakwahi orang-orang yang memiliki kedudukan[9] , namun penulis hanya ingin mengajak para pembaca untuk membayangkan alangkah indahnya andaikan para da'i dan Ulama menyeimbangkan antara kedekatannya dengan orang-orang terpandang dan kedekatannya dengan orang-orang lemah yang kekurangan, dengan satu tujuan lurus, mengajak mereka semua ke jalan Allâh Azza wa Jalla .

Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah masuk Islamnya 'Adi bin Hâtim ath-Thâ'I, seorang raja terpandang di negeri Arab. Ketika mendengar munculnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya dari hari kehari semakin bertambah, membuncahlah dalam hatinya kebencian dan rasa cemburu atas kemunculan raja pesaing baru, hingga datanglah suatu hari dimana Allâh Azza wa Jalla membuka hatinya untuk mendatangi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Begitu mendengar kedatangan 'Adi, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang berada di masjid dengan para Sahabatnya segera bergegas menyambut kedatangannya dan menggandeng tangannya mengajak berkunjung ke rumah beliau. Di tengah perjalanan menuju rumah, ada seorang wanita lemah yang telah lanjut usia memanggil-manggil beliau. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berhenti dan meninggalkan 'Adi guna mendatangi wanita tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup lama berdiri melayani kebutuhan si wanita. Melihat tawadhu' Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , 'Adi bergumam dalam hatinya, "Demi Allâh, ini bukanlah tipe seorang raja!".

Setelah selesai urusannya dengan wanita tua tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggamit tangan 'Adi melanjutkan perjalanan. Sesampai di rumah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergegas mengambil satu-satunya bantal duduk yang terbalut kulit dan berisikan sabut pohon kurma, lalu mempersilahkan 'Adi untuk duduk di atasnya. 'Adi pun menjawab, "Tidak, duduklah engkau di atasnya". "Tidak! Engkaulah yang duduk di atasnya" sahut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Akhirnya, 'Adi duduk di atas bantal tersebut dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas tanah. Saat itu, 'Adi kembali bergumam dalam hatinya, "Demi Allâh, ini bukanlah karakter seorang raja!".

Lantas terjadi diskusi antara keduanya, hingga akhirnya 'Adi pun mengucapkan dua kalimat syahadat; menyatakan keislamannya. [10]

Lihatlah bagaimana 'Adi begitu terkesan dengan kerendahan hati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan sabar melayani kepentingan seorang wanita tua dan lemah di tengah-tengah perjalanannya mendampingi seorang raja besar! Goresan kesan baik yang mengendap dalam hatinya terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , merupakan titik awal ketertarikan sang raja untuk memeluk Islam.

Penulis tutup pembahasan ini dengan sebuah kisah nyata tentang salah seorang da'i muda Ahlus Sunnah di sebuah kota di tanah air. Dengan usianya yang masih sangat hijau, dalam waktu singkat, sebagai pemain baru di kotanya, berkat taufik dari Allâh Azza wa Jalla , dia telah berhasil mengambil hati banyak masyarakat di kota tersebut. Bahkan pernah pada suatu momen, ia diundang untuk mengisi suatu acara kemasyarakatan di sebuah komunitas yang sebenarnya di situ banyak tokoh-tokoh agama senior.

Tatkala berusaha menghindar dengan alasan banyak kyai di situ, orang yang mengundang menjawab, "Kalau yang mengisi pengajian kyai A, sebagian masyarakat tidak mau datang, dan kalau yang diundang kyai B, yang mau datang juga hanya sebagian. Tapi kalau yang mengisi panjenengan, mereka semua mau datang!". Ketika penulis cermati, ternyata salah satu rahasia kecintaan masyarakat terhadap da'i tersebut yaitu keramahannya kepada siapapun, apalagi terhadap orang-orang 'kecil'. Dia menyapa tukang parkir, tukang sapu, orang tidak punya, bersalaman dengan mereka dan tidak segan-segan untuk bertanya tentang keadaan keluarga mereka dan anak-anaknya!

4. Santun Dalam Menyampaikan Nasehat, Sambil Memperhatikan Kondisi Psikologis Orang Yang Dinasehati. Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

Ucapan yang baik adalah sedekah [HR. al-Bukhâri no. 2989 dan Muslim no. 2332]

Memilih kata-kata yang baik dan memperhatikan psikologis seseorang sangat menentukan keberhasilan dakwah. Penulis pernah mendapatkan cerita dari saksi mata obrolan antara seorang ikhwan yang sudah ngaji dengan seorang awam yang sebelumnya tidak pernah saling bertemu. Orang awam tadi membuka obrolannya dengan kekagumannya akan perkembangan pembangunan fisik kota tempat mereka berdua tinggal yang begitu cepat dan maju. Namun ikhwan tadi langsung menangkis, "Ya, itukan cuma lahiriahnya saja. Tapi kalau kita lihat jiwa-jiwa penduduknya, ternyata kosong dan rapuh!". Begitu mendengar balasan lawan bicaranya, muka orang awam tadi langsung berubah dan terdiam.

Kita bukan sedang meragukan niat baik ikhwan tadi, namun tidakkah ada kata-kata yang lebih santun? Haruskah kita 'menabrak' langsung lawan bicara kita. Bukankah itu akan mengakibatkan dakwah kita sulit untuk diterima? Bukankah akan lebih enak didengar dan diterima jika ikuti alur pembicaraannya, lalu secara perlahan kita arahkan kepada poin yang kita sampaikan?

Misalnya kita katakan pada orang awam tersebut, "Betul Pak, pembangunan fisik kota kita ini memang amat membanggakan, dan ini amat bermanfaat untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat. Namun alangkah indahnya jika pembangunan fisik tersebut diiringi pula dengan pembangunan mental masyarakat, sehingga timbullah keseimbangan antara dua sisi tersebut".

Kita bisa mengambil suri teladan dari metode Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menasehati para Sahabat.

Abu Umamah Radhiyallahu anhu bercerita, "Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, "Wahai Rasûlullâh, izinkan aku berzina!". Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, mereka berkata, "Diam kamu, diam!". Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Mendekatlah". Pemuda tadi mendekati beliau dan duduk. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?".

"Tidak demi Allâh, wahai Rasul" sahut pemuda tersebut. "Begitu pula orang lain tidak rela kalau ibu mereka dizinai". "Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?". "Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!". "Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai". "Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?". "Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!". "Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai".

"Relakah engkau jika bibi (dari jalur bapakmu) dizinai?". "Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!". "Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai". "Relakah engkau jika bibi (dari jalur ibumu) dizinai?". "Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!". "Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai". Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, "Ya Allâh, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya". Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina". [HR. Ahmad XXXVI/545 no. 22211 dan sanad shahîh].[11]

Cermatilah bagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak langsung menyalahkan pemuda tadi. Namun, dengan sabar beliau mengajak pemuda tadi untuk berpikir sambil memperhatikan kondisi psikologisnya. Mungkin, sebagian kalangan yang kurang paham menilai bahwa metode tersebut terlalu panjang dan bertele-tele. Namun lihatlah apa hasilnya? Jalan dakwah memang panjang dan membutuhkan kesabaran.

Tidak ada salahnya, kita kembali memutar rekaman perjalanan hidup kita dahulu sebelum mengenal dakwah Salaf dan proses perkenalan kita dengan manhaj yang penuh dengan berkah ini. Apakah dulu serta-merta sekali diomongi, kita langsung meninggalkan keyakinan yang telah berpuluh tahun kita pegangi? Atau melalui proses panjang yang penuh dengan lika-liku?

Dengan merenungi masa lalu kelam sebelum mendapat hidayah, dan bahwasanya kita memperolehnya secara bertahap, kita akan terdorong untuk mendakwahi orang lain juga dengan hikmah, nasehat yang bijak, serta secara bertahap. Demikian keterangan yang disampaikan Syaikh 'Abdur Rahmân as-Sa'di rahimahullah ketika beliau menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :

كَذَلِكَ كُنتُم مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللّهُ عَلَيْكُمْ

Begitu pulalah keadaan kalian dahulu, lalu Allâh melimpahkan nikmat-Nya pada kalian. [an-Nisâ/4: 94] [12]

Tidaklah mudah, mengajak seseorang meninggalkan ideologi lamanya untuk menganut sebuah keyakinan baru. Maka, langkah awal yang ditempuh, buatlah ia ragu akan ideologi lamanya, lalu secara bertahap kita jelaskan keunggulan (keistimewaan, kebenaran) ideologi baru yang akan kita tawarkan padanya. Dengan berjalannya waktu, dengan izin Allâh Azza wa Jalla , sedikit demi sedikit ideologi lama akan ditinggalkannya, kemudian beralih ke ideologi yang baru.

5. Bersifat Pemaaf Terhadap Orang Yang Menyakiti Dan Membalas Keburukan Dengan Kebaikan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-orang jahil [al-A'râf/7:199]

Potret praktek akhlak mulia ini dalam kehidupan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam amatlah banyak, baik dengan sesama Muslim, maupun dengan para musuh beliau dari kalangan orang-orang kafir dan kaum musyrikin.

Di antara contoh jenis pertama, kejadian yang dikisahkan Anas bin Malik Radhiyallahu anhu :

كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَذَبَهُ جَذْبَةً شَدِيدَةً حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَذْبَتِهِ ثُمَّ قَالَ: "مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ!" فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ

Suatu hari aku berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau mengenakan pakaian (kain) buatan Najran yang tepinya kasar. Tiba-tiba datanglah seorang Arab badui dari belakang dan menarik keras kain beliau, hingga aku melihat di pundaknya tergaris merah bekas kasarnya tarikan orang itu, sembari berkata, "Berilah aku sebagian dari harta yang Allâh berikan padamu!". Beliau pun menengok kepadanya sembari tersenyum lalu memerintahkan agar ia diberi sebagian harta". [HR. al-Bukhâri no. 3149 dan Muslim no. 2426]

Contoh jenis kedua antara lain, kejadian yang dikisahkan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

Suatu hari aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "Wahai Rasûlullâh, apakah engkau pernah melewati suatu hari yang lebih berat dibandingkan hari peperangan Uhud?".

Beliau menjawab, "Aku telah menghadapi berbagai cobaan dari kaummu, dan cobaan yang paling kurasa berat adalah kejadian di hari Aqabah. Saat itu, aku menawarkan dakwah kepada Ibn Abd Yâlil bin Abd Kulal, namun ia enggan menerimaku. Aku pun pergi dalam keadaan amat sedih dan tidak tersadar melainkan tatkala sampai di Qarn ats-Tsa'âlib. Aku pun mendongakkan kepala, ternyata di atasku ada awan yang menaungiku. Kulihat di sana ada malaikat Jibril, ia memanggilku,

"Sesungguhnya Allâh telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka padamu. Allâh telah mengirimkan untukmu malaikat gunung, supaya engkau memerintahkannya melakukan apa saja kepada mereka sesuai kehendakmu". Malaikat gunung pun memanggilku dan mengucapkan salam lalu berkata, "Wahai Muhammad, jika engkau mau, akan kutimpakan dua gunung atas mereka!". Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, "Justru aku berharap, semoga Allâh berkenan menjadikan keturunan mereka generasi yang mau beribadah kepada Allâh semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun". [HR. Muslim no. 4629]

Jalan dakwah merupakan jalan yang terjal yang dipenuhi onak dan duri, apalagi mengajak manusia meninggalkan keyakinan-keyakinan keliru yang telah mendarah-daging puluhan tahun dalam diri mereka. Pasti akan muncul tantangan, berupa cemoohan, makian, atau bahkan mungkin juga berbentuk serangan fisik, dari pihak yang antipati terhadap dakwah. Ketika seorang da'i menghadapi semua halangan tadi dengan ketegaran dan kesabaran, tidak lupa diiringi dengan kelapangan dada, bahkan justru membalas keburukan dengan kebaikan; insya Allâh dengan berjalannya waktu, hati para 'lawan' dakwah akan luluh, atau minimal akan menyegani dakwah yang penuh berkah ini dan tidak mudah untuk melontarkan tuduhan-tuduhan miring. [13]

Biografi para ulama Islam penuh dengan contoh praktek sifat mulia ini. Penulis bawakan dua contoh dari kehidupan seorang ulama yang sangat masyhur keteguhannya dalam mempertahankan prinsip dan ketegasannya dalam meluruskan penyimpangan sekte-sekte sesat. Beliau adalah Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah.

Contoh pertama: Suatu hari segerombolan ahlul bid’ah menghadang Ibnu Taimiyah rahimahullah lalu mereka memukuli beliau ramai-ramai dan pergi. Tatkala kabar itu sampai ke telinga murid-murid dan para pendukung beliau, mereka pun bergegas datang kepadanya, meminta izin guna membalas dendam perbuatan jahat gerombolan ahlul bid’ah itu.

Namun Ibnu Taimiyah rahimahullah melarang mereka, seraya berkata, “Kalian tidak boleh melakukan hal itu”.

“Perbuatan mereka pun juga tidak boleh didiamkan, kami sudah tidak tahan lagi!”, tukas mereka.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menimpali, “Hanya ada tiga kemungkinan; hak untuk balas dendam itu milikku, atau milik kalian, atau milik Allâh. Seandainya hak untuk balas dendam itu adalah milikku, maka aku telah memaafkan mereka! Jika hak itu adalah milik kalian, seandainya kalian tidak mau mendengar nasehatku dan fatwaku maka berbuatlah semau kalian! Andaikan hak itu adalah milik Allâh, maka Dia k yang akan membalas jika Dia k berkehendak!”. [14]

Contoh kedua: Kisah makar ahlul bid'ah untuk menggantung Ibnu Taimiyyah.

Sultan Muhammad Qalawun rahimahullah termasuk penguasa yang mencintai dan mendukung dakwah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pada suatu tahun, Sultan Qalawun pergi berhaji ke Baitullah. Selama menjalankan ibadah haji, pemerintahan diserahkan kepada salah seorang wakilnya, Sultan al-Muzhaffar Ruknuddin Piprus, yang merupakan murid salah satu tokoh sufi abad itu, Nashr al-Manbaji, dikenal sangat benci terhadap Ibnu Taimiyah.

Tatkala Piprus mengambil tampuk pemerintahan, ahlul bid’ah pun segera menyusun makar agar pemerintah mengeluarkan surat perintah hukum mati Ibnu Taimiyah rahimahullah. Namun sebelum makar mereka berhasil, Sultan Qalawun terlebih dahulu kembali dari haji.

Mendengar berita adanya makar ahlul bid’ah tersebut, Sultan Qalawun pun marah besar dan memerintahkan bawahannya untuk menghukum mati para pelaku makar tersebut. Namun, begitu sampai berita itu ke telinga Ibnu Taimiyah rahimahullah , ulama ini bergegas mendatangi Sultan Qalawun , sambil mengatkan, “Saya telah memaafkan mereka semua”. Akhirnya, Sultan pun memaafkan mereka.

Setelah peristiwa itu, salah seorang musuh besar Ibnu Taimiyah rahimahullah , Zainuddîn bin Makhlûf pun berkata, “Tidak pernah kita mendapatkan orang setakwa Ibnu Taimiyah! Setiap ada kesempatan untuk mencelakakannya, kami berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Namun, tatkala dia memiliki kesempatan untuk membalas, malah memaafkan kami!”.[15]

Begitulah orang-orang berjiwa besar menyikapi kejahatan orang lain, dan lihatlah buahnya! Disegani lawan maupun kawan. Betapa banyak musuh bebuyutan yang berubah menjadi teman seperjuangan, berkat taufiq dari Allâh Azza wa Jalla , kemudian dengan ketulusan hati para da'i.

6. Menahan Diri Dari Meminta-Minta Apa Yang Dimiliki Orang Lain. Sifat ini lebih dikenal para Ulama dengan istilah 'iffah atau 'afâf. Ini merupakan salah satu karakter para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Allâh Azza wa Jalla beritakan dalam al-Qur'ân,

"يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاء مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافاً ".

"(Orang lain) yang tidak tahu menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya; karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada orang lain". [Al-Baqarah: 273].

Tidak heran andaikan mereka memiliki karakter mulia tersebut; sebab mereka dapat menyaksikan langsung Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mempraktekkannya dan senantiasa memotivasi mereka untuk mempraktekkannya juga. Di antara nasehat yang beliau sampaikan: sabdanya,

"مَنْ يَسْتَعِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ".

"Barang siapa menahan diri untuk tidak minta-minta; maka Allâh akan jadikan ia memiliki sifat 'iffah. Dan barang siapa menampakkan diri berkecukupan; niscaya Allâh akan menjadikannya kaya". [HR. al-Bukhâri no. 1427 dan Muslim no. 2421 dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anuh]

Lantas apa korelasi antara bersifat 'iffah dengan keberhasilan dakwah? Sekurang-kurangnya bisa ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Orang yang menjaga diri dari meminta apa yang dimiliki orang lain, juga tidak silau dengan apa yang dimiliki orang lain; akan dicintai mereka. Sebab secara tabiat, manusia tidak menyukai orang lain yang meminta-minta apa yang dimilikinya. Hal itu telah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam isyaratkan dalam nasehatnya untuk seseorang yang bertanya, "Wahai Rasûlullâh, beritahukan padaku suatu amalan yang jika kukerjakan, aku akan disayang Allâh dan dicintai manusia!". Beliau pun menjawab:

ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ

Bersifat zuhudlah di dunia, niscaya engkau akan disayang Allâh. Dan bersikap zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, niscaya mereka mencintaimu [HR. Ibnu Mâjah no. 4177 dari Sahl bin Sa'd as-Sâ'idi Radhiyallahu anhu dan sanadnya dinilai hasan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah] [16]

Jika seorang da'i telah dicintai masyarakat, maka mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya.

Kedua: Orang yang memiliki sifat 'afâf, ketika ia berdakwah, masyarakat akan menilai bahwa dakwahnya tersebut ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla , bukan karena mengharapkan balasan duniawi dari mereka. Saat mereka merasakan ketulusan niat da'i tersebut; jelas -dengan izin Allâh Azza wa Jalla - mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُم مُّهْتَدُونَ

Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk [Yâsin/36:21]

KIAT MENUMBUHKAN SIFAT ‘AFAF

Sifat mulia ini memang cukup berat untuk ditumbuhkan dalam jiwa. Namun, ada kiat khusus yang dapat membantu kita menumbuhkan karakter mulia ini dalam diri kita. Yaitu, dengan melatih diri bersifat qona'ah yang berarti menerima dan rela dengan berapapun yang diberikan Allâh Azza wa Jalla . Sebab, sebenarnya sifat 'afâf merupakan buah dari sifat qona'ah. [17]

Jika ada yang bertanya bagaimana cara membangun pribadi yang qona'ah? Jawabannya, dengan melatih diri menyadari seyakin-yakinnya bahwa rezeki hanyalah di tangan Allâh Azza wa Jalla dan yang kita dapatkan telah dicatat Allâh Azza wa Jalla , serta tidak mungkin melebihi apa yang telah ditentukan-Nya, walaupun kita pontang-panting dalam bekerja.

CATATAN PENTING[18]

Ada tiga catatan penting di akhir makalah ini: Pertama: Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita 'melarutkan' diri dalam ritual-ritual bid'ah yang ada di masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia!

Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti yasinan[19] , tahlilan[20] , maulidan atau acara-acara bid'ah lainnya.

Caranya? Dengan selalu berusaha berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur penyimpangan terhadap syariat, semisal kerja bakti, pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu membawakan barang belanjaan seseorang yang baru pulang dari pasar, membantu mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan lain sebagainya.

Dengan berjalannya waktu, masyarakat akan paham bahwa ketidakikutsertaan kita dalam ritual-ritual bid'ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang 'tidak ada tawar-menawar' di dalamnya.

Kedua: Sebagian pihak 'mengolok-olok' beberapa da'i Ahlus Sunnah yang tidak jemu-jemunya menekankan pentingnya akhlak mulia, dengan mengatakan bahwa mereka telah tasyabbuh (menyerupai) salah satu kelompok ahlul bid'ah yang terkenal berkonsentrasi dalam membenahi akhlak umat, namun mengabaikan pembenahan akidah.

Jawabannya:

A. Barangkali pihak yang gemar 'mengolok-olok' itu lupa bahwa dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukanlah dakwah yang hanya mengajak kepada akidah yang benar saja. Namun, juga merupakan dakwah yang mengajak kepada penerapan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari; karena dakwah Ahlus Sunnah tidak lain adalah agama Islam yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana Islam memadukan antara akidah, ibadah dan akhlak. Imam Bisyr al-Hâfî rahimahullah berkata, "Sunnah adalah Islam dan Islam adalah Sunnah"[21].

Syaikh Dr. Ibrâhîm bin ‘Âmir ar-Ruhailî hafizhahullâh menjelaskan, "Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka yang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan akidah maupun akhlak. Termasuk pemahaman yang keliru, adanya prasangka bahwa sunni atau salafi adalah orang yang merealisasikan akidah Ahlus Sunnah saja, tanpa memperhatikan sisi akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum Muslimin"[22] .

B. Seandainya ada sebagian ahlul bid'ah menonjol dalam pengamalan beberapa sisi syariat Islam, apakah kita akan mengabaikannya hanya karena mereka lebih terkenal dalam penerapannya?! Bukankah justru sebaliknya kita harus berusaha membenahi diri dengan menutupi kekurangan yang ada pada diri kita, sehingga kita benar-benar bisa menerapkan ajaran Ahlus Sunnah secara komprehensif dan bukan sepotong-sepotong?!

Ketiga: Mungkin pula ada sebagian pihak lain yang ketika ia merasa jenuh melihat kekurangan sebagian Ahlus Sunnah dalam penerapan akhlak Islami, dia cenderung 'menjauhi' mereka dan memilih 'bergabung' dengan kelompok-kelompok ahlul bid'ah yang terkenal menonjol dalam sisi itu.

Sikap ini juga kurang tepat, karena seharusnya dia berusaha membenahi diri dengan memperbaiki akhlaknya yang belum baik, lalu berusaha terus-menerus menasehati saudara-saudaranya sesama Ahlus Sunnah guna memperbaiki akhlak mereka, bukan malah menjauh. Mari kita selesaikan suatu masalah dengan cara yang tidak menimbulkan masalah lain!

PENUTUP

Sebenarnya masih banyak contoh lain penerapan akhlak mulia yang akan membuahkan dampak positif bagi keberhasilan dakwah. Seperti bersifat amanah dalam segala sesuatu, termasuk dalam berbisnis, yang amat disayangkan mulai luntur, bahkan sampai di kalangan mereka yang sudah ngaji. Sehingga muncullah istilah "Bisnis afwan akhi!" [23] , yang intinya adalah berbisnis tanpa mengindahkan etika-etikanya. Dan contoh-contoh lainnya yang dipandang perlu untuk disinggung. Semoga yang sedikit ini dapat memberikan manfaat yang banyak dan menjadikan kita selalu berupaya untuk berakhlak mulia di tengah masyarakat yang jelas-jelas membutuhkan pembinaan Islami untuk menjadi lebih baik.

Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith tharîq... Wa shallallahu 'ala nabiyyina muhammadin wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] _______

Footnote

[1]. Lihat Ikhtiyar al-Ûlâ fî Syarh Hadîts al-Mala' al-A'lâ karya Imam Ibn Rajab, sebagaimana dalam Majmû' Rasâ'il al-Hafizh Ibn Rajab al-Hambali IV/44 dan Madârijus Sâlikîn karya Imam Ibnul Qayyim II/318-319
[2]. Lihat Munthalaqât ad-Da'wah wa Wasâ'il Nasyriha, Hamd Hasan Raqîth (hal. 97-99) dan Ashnâf al-Mad'uwwîn wa Kaifiyyah Da'watihim, karya Prof. Dr. Hamûd bin Ahmad ar-Ruhaili hlm. 41
[3]. It-hâf al-Khiyarah al-Maharah fî Ma'rifah Wasâ'il at-Tarbiyah al-Mu'atsirah , Ummu 'Abdirrahmân binti Ahmad al-Jaudar hlm. 14
[4]. Syarh Shahîh Muslim , Imam Nawawi II/377
[5]. Makârim al-Akhlâq fî Dhau'i al-Kitâb wa as-Sunnah karya Syaikh Salim al-Hilâli hlm. 39
[6]. Riyâdh ash-Shâlihîn hlm. 146
[7]. al-Bidâyah wa an-Nihâyah VI/471-472
[8]. Tafsîr al-Bahr al-Muhîth VII/30
[9]. Penulis telah sedikit mengupas tentang permasalahan ini serta dampaknya yang amat signifikan untuk kemajuan dan perkembangan dakwah, dalam buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah hlm. 69-73
[10]. Tahdzîb Sîrah Ibn Hisyâm , 'Abdussalâm Hârûn hlm. 272-274
[11]. Ash-Shahîhah I/713 no. 370
[12]. Tafsîr as-Sa'di hlm. 158
[13]. Cermati Ashnâf al-Mad'uwwîn hlm. 54
[14]. Al-'Uqûd ad-Durriyyah , Ibnu 'Abdil Hâdi hlm. 224-225
[15]. Lihat: Ibid (hlm. 221)
[16]. Riyâdhush Shâlihîn hlm. 216
[17]. Bahjatun Nâzhirîn I/583
[18]. Nukilan dari buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah hlm. 25-27
[19]. Untuk mengenal lebih lanjut hukum acara dipandang dari kacamata Islam, silahkan merujuk ke buku Yasinan karya Ust. Yazîd bin Abdul Qâdir Jawwâs, dan makalah Takhrîj Hadits-Hadits tentang Keutamaan Surat Yâsîn karya Ust. Dzulqarnain Sunûsi (dalam Majalah an-Nashîhah vol 06 hlm 50-59).
[20]. Untuk mengenal lebih lanjut hukum tahlilan dipandang dari kacamata Islam Hukum Tahlilan Menurut Empat Madzhab karya Ust. Abdul Hakîm bin ‘Âmir ‘Abdât.
[21]. Syarh as-Sunnah , Imam al-Barbahârî (hal. 126).
[22]. Nashîhah li asy-Syabâb hlm. 1
[23]. Majalah Nikah, vol. 8, no. 6, September-Oktober 2009 hlm. 82-83

Arab Saudi Akan Kirim Pasukan Untuk Menumpas Pemberontak Syi'ah Yaman

Arab Saudi Akan Kirimkan Pasukan untuk Menumpas Pemberontak Syiah Yaman

Islamedia.co -  Pemberontakan yang dilakukan kelompok Syiah di Yaman membuat kerajaan Arab Saudi turun tangan. Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Saud Faisal, menegaskan bahwa negaranya dan kawasan akan mengambil sikap tegas terhadap kudeta kelompok Syiah Houthi, jika kelompok tersebut menolak untuk berunding dengan pemerintah sah Yaman.

Pernyataan ini dikatakan Pangeran Saud Faisal dalam jumpa pers bersama Menlu Inggris Philip Hammond di ibukota Riyadh hari Senin (23/03) kemarin.

“Kami berharap untuk menyelesaikan krisis Yaman secara damai, akan tetapi jika tidak terjadi maka negara-negara di kawasan akan diambil langkah tegas yang diperlukan untuk mengakhiri agresi,” ujar Pangeran Saud Faisal sebagaimana dilansir eramuslim.com.

Lebih lanjut menlu Saudi ini menyampaikan bahwa keamanan Yaman dan keamanan negara anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC) adalah satu kesatuan. Dan kami menolak dengan tegas kudeta militer yang dilakukan oleh kelompok Syiah Houthi.

Bersama dengan Dewan Kerjasam Teluk, Arab Saudi telah mengagagas perundingan bagi seluruh pihak bertikai di Yaman untuk menghadiri negosiasi damai di ibukota Riyadh dalam beberapa pekan mendatang.

Sejak berhasil menguasasi ibukota dan memaksa penguduran diri Presiden Abdel Fattah Mansour Hadi pada 22 Januari lalu, kelompok Syiah Houthi mengumumkan pembentukan pemerintah ilegal Yaman dengan dukungan dari Iran. (islamedia/eramuslimRassd/Ram)

www.islamedia.co/2015/03/arab-saudi-akan-kirimkan-pasukan-untuk.html?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook&m=1